<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d7808624031225959264\x26blogName\x3dInfo+InfoSinema\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://info-infosinema.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3din\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://info-infosinema.blogspot.com/\x26vt\x3d-5757315724398017633', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Minggu, 17 November 2013

Sokola Rimba Catatan Harian Butet Manurung

Jenis Film Drama - Pemain Prisia Nasution ( Butet Manurung), Nyungsang Bungo, Beindah, Nengkabau, Rukman Rosadi (Bahar), Nadhira Suryadi (Andit), Netta KD (Ibu Pariyan), Ines Somellera (Dokter Astrid) - Sutradara Riri Riza - Penulis Riri Riza, Butet Manurung - Sinematografi Gunnar Nimpuno - Penata Artistik Eros Eflin - Editing W. Ichwandiardono - Musik Aksan Sjuman - Penata Suara Satrio Budiono, Yusuf Patawari - Produser Eksekutif Suzy D. Hutomo, Handi Santoso, Adrian Sitepu - Co-Produser Eksekutif Ignatius Andy, Nicholas Saputra - Produser Pelaksana Toto Ptasetyanto - Produser Mira Lesmana - Produksi Miles Films - Durasi 90 menit - Rilis 21 November 2013.

Film 'SOKOLA RIMBA': Kisah Kehidupan Orang Rimba dari Catatan Harian Butet Manurung
AQUA dukung Fil "Sokola Rimba" untuk Indonesia yang lebih baik

Epicentrum Jakarta, 12 November 2013 - Sutradara terkenal Riri Riza sekali lagi berpasangan dengan Mira Lesmana sebagai produsernya dalam menghasilkan suatu karya film yang terinspirasi dari buku dengan judul yang sama - SOKOLA RIMBA (cetakan pertama tahun 2007) Film yang mengisahkan pengalaman Butet Manurung selama mengajar di Hutan Bukit Duabelas, Jambi tersebut merupakan bentuk kekaguman dari Riri dan Mira terhadap Butet yang memiliki kepedulian yang tinggi terhadap masyarakat pedalaman di Indonesia agar mereka dapat menghadapi persoalan yang diakibatkan oleh tekanan dunia luar melalui pendidikan. Hal ini mendorong Danone AQUA, penyedia air minum dalam kemasan terkemuka di Indonesia, untuk mendukung publikasi film yang rencananya akan hadir di 21 Cineplex dan Blitzmegaplex di seluruh Indonesia mulai 21 November mendatang.

Film 'SOKOLA RIMBA' pada intinya berkisah tentang petualangan seorang perempuan, Butet Manurung, yang mengabdikan dirnya untuk mengajar anak-anak komunitas Orang Rimba, dimana dalam perjalanannya itu terjalin persahabatan yang mengesankan antara Butet dengan Nungsang Bungo, salah satu murid terbaiknya Berbagai permasalahan pun dihadapi mulai dari diusir komunitas Orang Rimba hingga konflik dengan lembaga tempatnya bekerja yang membuat ia harus pulang kembali ke Jakarta.

Riri Riza selaku sutradara SOKOLA RIMBA mengatakan, "Setiap kali berkarya, saya selalu terus berusaha untuk menghasilkan film yang didasarkan pada kisah-kisah nyata yang terjadi di Indonesia, termasuk mengenai berbagai persoalan yang ada dan masih menjadi tantangan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Film SOKOLA RIMBA ini berfokus pada interaksi Butet Manurung sebagai seorang ibu guru, dengan Nyungsang Bungo sebagai salah satu muridnya, yang rela berjalan kaki jauh sekali untuk belajar agar dapat membantu permasalahan yang dihadapi oleh kelompok adatnya".

"Melalui peran dari para aktor yang terlibat di dalam film ini, termasuk anak-anak Rimba-nya, kita diajak ke dalam suatu pengalaman seru dan menarik dalam melihat sebuah komunitas masyarakat Indonesia yang tinggal di rimba dan masih sangat menjunjung tinggi peraturan adat mereka. Hal ini sangatlah berbeda dengan kehidupan komunitas masyarakat Indonesia pada umumnya," tambah Riri pada saat penayangan perdana film tersebut untuk media.

Produser film "SOKOLA RIMBA, Mira Lesmana mengatakan, "Kekaguman saya akan kepedulian Butet Manurung terhadap masyarakat marjinal di Indonesia yang kehidupannya kian terdesak oleh arus perubahan dan modernisasi, merupakan alasan terkuat saya untuk memproduksi film ini. Saya sangat berharap, dengan menonton film ini. masyarakat luas dapat lebih memahami kehidupan komunitas adat seperti Orang Rimba serta memberikan pengertian dan perhatian yang dalam kepada mereka agar masyarakat adat bisa tetap menjadi bagian penting dari kehidupan hutan dan keragaman masyarakat Indonesia."

Butet Manurung mengatakan, "Sudah lama ini menjadi perenungan panjang saya, untuk menyampaikan pesan ini kepada masyarakat luas. Saya sadar buku saja tidak cukup. Jujur saja, ketika Mira dan Riri datang pada saya, pada awalnya saya takut saya akan menjerumuskan Orang Rimba. Tapi semuanya telah dilakukan dengan baik. Saya sering berdialog dengan Riri dan Mira. Tim saya dan komunitas Orang Rimba, semua juga terlibat dalam proses film yang hasilnya sangat membanggakan. Film ini mengusung cerita dan pesan yang sama dengan yang saya harapkan Semoga film ini dapat menyampaikan kepada masyarakat luas mengenai perjuangan Orang Rimba dan komunitas-komunitas adat lainnya di Indonesia."

Brand Director Danone AQUA, Febby Intan, menjelaskan, "Selama lebih dari 40 tahun, berkat dukungan dari seluruh masyarakat Indonesia, Danone AQUA berupaya untuk terus berkontribusi dalam meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat Indonesia melalui produk yang berkualitas. Komitmen kami adalah bahwa apapun yang kita lakukan adalah untuk kebaikan hidup, karena selain hal-hal yang telah kami sebutkan sebelumnya, kami juga memiliki banyak kegiatan yang bertujuan untuk mewujudkan kehidupan dan masa depan yang lebih baik, antara lain adalah AQUA DNC. Temukan Indonesia-mu, It's in Me serta berbagai inisiatif tanggung jawab sosial perusahaan. Dukungan Danone AQUA terhadap film ini merupakan bagian dari komitmen untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik sejalan dengan visi Danone AQUA mengenai pemberdayaan masyarakat."

"Kami sangat bangga dapat turut serta dalam mengkomunikasikan nilai-nilai dari film SOKOLA RIMBA ini kepada masyarakat dan kami berharap masyarakat luas dapat memperoleh pemahaman yang lebih baik lagi mengenai komunitas Orang Rimba yang selama ini kurang mendapat perhatian," ujar Febby.

Film berdurasi 90 menit ini menampilkan Prisia Nasuiton sebagai Butet Manurung, dibantu oleh aktor lainnya seperti Rukman Rosadi dan Nadira Suryadi. Film ini menghabiskan waktu kurang lebih 9 bulan dari pra produksi sampai syuting selesai dan untuk mendukung otentisitas, sengaja melibatkan anak-anak komunitas Orang Rimba seperti Nyungsang  Bungo, Beindah dan Nengkabau sebagai pemeran murid-murid Butet. Gambaran kehidupan komunitas adat berlatar belakang hutan Sumatra yang jarang digambarkan dalam film-film Indonesia, menjadikan film ini berbeda dengan film lainnya.



Sinopsis
Setelah hampir tiga tahun bekerja di sebuah lembaga konservasi di wilayah Jambi, BUTET MANURUNG (Prisia Nasution) telah menemukan hidup yang diinginkannya,  mengajarkan  baca tulis dan menghitung kepada anak - anak  masyarakat suku anak dalam, yang dikenal sebagai Orang Rimba, yang tinggal di hulu sungai Makekal di hutan bukit Duabelas.

Hingga suatu hari Butet terserang demam malaria di tengah hutan, seorang anak tak dikenal datang menyelamatkannya. NYUNGSANG BUNGO (Nyungsang Bungo) nama anak itu,  berasal dari Hilir sungai Makekal, yang jaraknya sekitar 7 jam perjalanan untuk bisa mencapai hulu sungai, tempat Butet mengajar. Diam-diam Bungo telah lama memperhatikan Ibu guru Butet mengajar membaca.  Ia membawa segulung kertas perjanjian yang telah di’cap jempol’ oleh kepala adatnya, sebuah surat persetujuan orang desa mengeksploitasi tanah adat mereka. Bungo ingin belajar membaca dengan Butet agar dapat membaca surat perjanjian itu.

Pertemuan dengan Bungo menyadarkan Butet untuk memperluas wilayah kerjanya ke arah hilir sungai Makekal. Namun keinginannya itu tidak mendapatkan restu baik dari tempatnya bekerja, maupun dari kelompok rombong Bungo yang masih percaya bahwa belajar baca tulis bias membawa malapetaka bagi mereka.

Namun melihat keteguhan hati Bungo dan kecerdasannya membuat Butet mencari segala cara agar ia bisa tetap mengajar Bungo, hingga malapetaka yang ditakuti oleh Kelompok Bungo betul-betul terjadi. Butet terpisahkan dari masyarakat Rimba yang dicintainya. Dapatkah ia kembali?




Catatan Sutradara
Butet Manurung bukan orang baru di jagat pendidikan Indonesia - ia adalah penerima Time Asia Hero di tahun 2004 untuk karyanya di Rimba Sumatra, Komitmen dan kredibilitas pengabdiannya bagi saya adalah sebuah inspirasi.

Film Sokola Rimba selesai setelah melalui sebuah proses yang panjang tapi menyenangkan. Mulai terfikir setidaknya lima tahun yang lalu, kemudian satu persatu jalan itu terbuka. Setelah setuju bagian dari buku dan pengalaman hidupnya difilmkan, Butet pula yang membuka jalan kami ke Makekal Hulu. Kami mulai bekerja sama dengan rombongan Orang Rimba di sana. Mereka bersedia membuka diri untuk kami, membiarkan kami mereka ulang beberapa laku hidup mereka yang selama ini tertutup bagi orang luar.

Kami memulai proses shooting setelah 3 kali kunjungan pendahuluan, saya senang sekali ketika Orang Rimba juga sepakat untuk memainkan diri mereka sendiri dalam film ini. Melalui film ini, saya bisa mengenali cara hidup mereka, termasuk selera makan, humor bahkan sumpah serapah Orang Rimba.

Namun film ini bukanlah rekaman antropologis atau film dokumenter. Ada tokoh rekaan dan dramatisasi dalam film ini. Bisalah film ini adalah pencampuran dari gaya fiksi dan dokumenter. Dalam Sokola Rimba, saya membuka saja setiap kemungkinan.

Film ini lagi-lagi berbicara soal tantangan dunia pendidikan di Indonesia. Tidak ada sama sekali niat saya ingin menggurui, namun saya sadar membuat film bagi kami semakin mahal dan sulit, hingga tidak bisa dikerjakan hanya karena "ingin membuat film".

Silakan menikmati karya penyutradaraan saya ke 9 sejak tahun 2000.

Radja Penyakit !!!



Catatan Produksi
Pengalaman syuting menelusuri hutan Rimba menjadi pengalaman yang luar biasa bagi sutradara Riri Riza dan produser Mira Lesmana, yang belum pernah mereka alami sebelumnya.

Bagi Mira Lesmana dan Riri Riza, setiap kali mereka bergerak dan membuat sesuatu sudah pasti selalu ada gagasan besar di baliknya. Kekaguman mereka kepada Butet Manurung yang memiliki kepedulian yang sangat tinggi terhadap masyarakat marjinal di Indonesia yang memiliki kehidupan kian terdesak oleh arus perubahan dan modernisasi inilah yang memicu ketertarikan Mira dan Riri untuk mengangkat buku Sokola Rimba menjadi sebuah film.

"Bagi saya kisah Butet Manurung yang dituangkan dalam buku Sokola Rimba ini sudah memiliki muatan pesan dan gagasan yang kuat. Jadi tinggal bagaimana kami memvisualisasikan cerita di buku ini ke dalam gambar film," ungkap Mira Lesmana, produser film Sokola Rimba, Riri Riza.

Dalam mengangkat sebuah buku menjadi sebuah film, Riri Riza yang juga menjadi penulis skenario untuk film Sokola Rimba memiliki pemikiran tersendiri dalam memvisualisasikan isi dari cerita ini.

"Saya membebaskan diri saya sendiri dengan membaca dengan sangat mendalam buku Sokola Rimba ini, secara intuitif dan feeling, kemudian saya tertarik dengan beberapa aspek dari buku ini. Dan aspek itulah yang kemudian saya kembangkan dan intisarikan menjadi skenario yang oanjangnya hampir 60 halaman. Cukup pendek dibanding skenario saya yang lain," cerita Riri. "Intinya saya ingin menceritakan tentang interaksi Butet dengan satu orang anak Rimba. Seorang anak yang sudah berangkat remaja bernama Nyungsang Bungo yang mencari Butet Manurung. Mencari Ibu Guru dan kemudian sepanjang cerita kita mengerti apa yang membuat dia mencari Ibu Guru ini," lanjut Riri.

"Di film Sokola Rimba, kami ingin menggambarkan kehidupan masyarakat Rimba secara lebih mendalam. Mulai dari cara mereka berbicara, berpakaian sampai kebiasaan-kebiasaan mereka. Dan itu adalah sebuah tantangan karena masyarakat rimba ini, orang-orang rimba, orang-orang suku Anak Dalam ini sebenarnya masih sangat memegang teguh adat. Jadi, ketika kami memfilmkan satu cerita di dalam sebuah situasi yang penuh dengan aturan yang ketat, tentu saja itu membutuhkan kepekaan tertentu. Dan  itu yang menurut saya paling menantang," ucap Mira.

Perjalanan mereka masuk hutan Rimba pun tidak serta merta berjalan lancar dan mudah. Para filmmaker mulai masuk ke hutan jauh lebih awal dari jadwal yang direncanakan. "Bulan November 2012 adalah untuk pertama kalinya kami berkunjung ke sana. Kemudian datang lagi bulan Februari 2013, lanjut bulan Mei, baru kemudian syuting di bulan Juni 2013. Dan semua kunjungan tersebut merupakan proses untuk membuat orang-orang Rimba ini yakin bahwa kami tidak main-main dengan niat ini," cerita Riri.

Dan kemudian serta kelancaran tersebut tak lepas berkat bantuan tim Sokola, organisasi yang didirikan Butet untuk pendidikan orang-orang rimba. Karena merekalah yang menjadi fasilitator agar para filmmaker bisa menyesuaikan diri dengan kebiasaan-kebiasaan orang Rimba di sana hingga akhirnya mereka diterima.

Dari sisi produksi, Sokola Rimba masih ingin mempertahankan cita rasa hutan Rimbadengan memakai pemain asli dari Rimba. Sejak awal memproduksi film Sokola Rimba dengan memakai pemain asli dari Rimba. Sejak awal memproduksi film Sokola Rimba, Riri dan Mira memutuskan untuk mengajak anak-anak Rimba berperan dalam film ini.

"Sangat dibutuhkan otentisitas dalam memerankan tokoh orang-orang Rimba, yang kami yakin akan sangat sulit dan butuh waktu panjang bila kita berikan kepada aktor lain. Dari pengalaman bekerja dengan "non-actor" dan masyarakat asli suatu daerah seperti di film Laskar Pelangi dan film terakhir kami Atambua 39'C, kami yakin akan kemampuan mereka dalam berperan," ujar Mira.

"Kami ingin membuat film yang baik dengan mengajak mereka untuk terlibat dan berpartisipasi di dalamnya. Kami tidak akan membawa pemain dari Jakarta kemudian dijadikan orang Rimba, kami inginnya warga disana," kata Riri, mantap.

Sekalipun sebagian besar pemain adalah masyarakat Rimba, Mira dan Riri tetap melakukan casting untuk menemukan siapa yang paling tepat untuk memerankan tokoh yang tertulis dalam skenario.

"Setiap. Pemain tentu saja melalui sebuah proses. Boleh dibilang casting, tapi bagi saya lebih kepada mencoba meriset untuk menulis karakter yang nantinya pemainnya akan saya cari dari Rimba. Tapi dalam prosesnya justru semuanya menjadi terbalik. Kami menemukan karakter di Rimba yang kami anggap memiliki potensi dan kelihatannya dia mau main film dan cukup terbuka sebagai orang Rimba. Kemudian kita bicara dan mulai menulis karakter," cerita Riri.

"Dari semua karakter yang ada di film Sokola Rimba, menemukan karakter Nyungsang Bungo adalah yang paling sulit. Bungo memiliki kompleksitas. Ia cerdas, tapi juga resah. Ada banyak pertanyaan dalam diri karakter Bungo yang ingin dapat membaca, tapi disaat yang sama ia tetap ingin menghormati adat istiadat Rimba yang menganggap belajar itu tabu," ujar Mira.

"Karakter Nyungsang Bungo terinspirasi oleh seorang tokoh yang pernah ditemui Butet sekitar 10 tahun yang lalu. Seorang anak yang kemudian menjadi pembaca perjanjian di kampungnya," ucap Riri. "Dalam film ini para pemain Rimba memerankan dirinya sendiri dengan sedikit modifikasi secara plot dan karakter, tapi sebenarnya itu diri mereka sendiri," lanjutnya.

Sementara untuk karakter Butet Manurung, Riri dan Mira memilih Prisia Nasution untuk memerankannya. Menurut Mira, Prisia memiliki berbagai kelebihan untuk memerankan Butet Manurung. Selain kemampuan aktingnya yang tak perlu diragukan, secara fisik ia juga sangat cocok. Prisia memiliki kemampuan adaptasi yang sangat tinggi. Tidaklah mudah untuk bisa dengan cepat mempelajari bahasa Rimba dan juga untuk tinggal di hutan selama persiapan maupun syuting film ini.

"Menurut saya, Prisia punya berbagi pengalaman di hidupnya yang tidak terlalu jauhdari tokoh Butet. Jadi ketika ia memerankan tokoh Butet buat dia itu bukan kerja yang berat lagi. Dia g punya banyak kelengkapan untuk peran ini. Misalnya, dia memang pecinta alam, dia suka naik gunung dan kebetulan dia juga berdarah batak," tambah Riri.

Hadirnya film "SOKOLA RIMBA" diharapkan kita bisa melihat film ini sebagai satu tontonan yang bisa memberi pemahaman kepada masyarakat, kepada penonton khususnya untuk lebih mengenali lagi salah satu kehidupan masyarakat marjinal Indonesia yang sangat unik ini dan sekaligus merasa bangga pada kekayaan dan keragaman Indonesia kita.

"Kita tidak bicara 30 tahun lalu, namun kita berbicara tentang hari ini. Dan saudara-saudara kita di Taman Nasional Bukit 12 dan beberapa tempat lain di Indonesia yang masih punya sikap hidup yang menarik untuk dilihat bahkan untuk dikaji dan bahkan mungkin sebagian di antaranya bisa diambil untuj dipraktekkan, ucap Riri.

Dan pada saat yang sama tentu saja Miles Films berharap film ini bisa menghibur penonton. Menghibur dalam arti tersentuh oleh kisah hubungan antara karakter-karakter yang ada di dalamnya. Butet dengan Nyungsang Bungo, Nyungsang Bungo dengan Rombongannya. Dan hubungan yang lain dalam film ini.



Bio Pemain Film

Prisia Nasution (Butet Manurung)
Prisia Nasution lahir di Jakarta, 1 Juni 1984. Wanita cantik yang akrab disapa Pia ini sebelum terjun ke dunia film adalah seorang atlet basket dan model. Wajahnya sering tampil sebagai di berbagai FTV dan menjadi pembawa acara World Kick Off, Lensa Olahraga dan Termehek-Mehek. Film layar lebar pertamanya yang berjudul Sang Penari di tahun 2011 mengantarkannya sebagai Aktris Terbaik FFI 2011. Di tahun 2011 pula ia ikut berperan pada serial televisi Laskar Pelangi sebagai Ibu Muslimah. Tahun 2013 sederetan film layar lebar diperankan oleh Prisia, seperti Rectoverso, Laura &Marsha, Jokowi, dan kini Sokola Rimba.

Rukman Rosadi (Bahar)
Nama Rukman Rosadi sebagai aktor di dunia perfilman memamng belum banyak terdengar. Akting menawannya baru ia tampilkan dalam film Jokowi dan Soegija. Tapi sebagai aktor di dunia teater, kemampuannya sudah tak diragukan lagi. Selain aktif di panggung teater, ia sering menjadi pengajar akting di kampus seni di berbagai universitas. Kalimat yang selalu ia pesankan kepada mahasiswa didikannya adalah bagaimana untuk menjadi seorang aktor berkualitas, seseorang diharuskan untuk menggali potensinya. Guna menjadi seorang aktor berkualitas, seseorang dituntut menjadi pribadi yang fleksibel. Dan acting berkualitasnya akan kita lihat dalam film Sokola Rimba.

Nadhita Suryadi (Andit)
Pendatajng baru berparas cantik ini bernama Nadhira Suryadi. Debut aktingnya di dunia film dimulai dengan film Madre berperan sebagai Jesse dan film Optatissimus, Doa Pertama yang dibintanginya bersama Rio Dewanto. Di film ini memainkan dua peran sekaligus dengan sifat yang saling bertentangan. Nadhira mengenal seni peran sejak bergabung dengan Teater Lutung Kasarung arahan Didi Petet. Selain sibuk di dunia acting, Nadhira, yang lulus dengan predikat cum laude dari Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung ini juga sibuk sebagai vokalis di band The Alpha yang akan segera merilis album pop pertamanya.



Bio Pembuat Film

Riri Riza (Sutradara & Penulis Skenario)
Riri Riza lahir pada tahun 1970, lulusan Fakultas Film dari Institut Kesenian Jakarta. Ia berkesempatan melanjutkan studinya pada program Master Penulisan Skenario di Royal Holloway, University of London, Inggris. Film pendeknya SONATA KAMPUNG BATA, menerima penghargaan di festival film pendek di Oberhausen, Jerman, yang kemudian juga ditayangkan di beberapa festival di Asia, Eropa dan Amerika.

Pada tahun 1996 Ia ikut mentutradarai sebuah film independent berjudul KULDESAK yang ditayangkan di beberapa festival film di Rotterdam, Deauville, Singapura dan di Filipina. Film feature. Pertamanya dirilis pada tahun 2000, sebuah drama musical berjudul PETUALANGAN SHERINA yang sukses bertenger di jajaran box office dan membuka jalan bagi kebangkitan industri film Indonesia. Pada 2002, ia ikut menulis dan Netpac / Flipresci Jury Awards di Festival Film Internasional Singapura 2002.

Ia menulis dan menyutradarai GIE yang dirilis pada tahun 2005 dan memenangkan penghargaan untuk Sinematografi Terbaik pada Festival Film Indonesia 2005, Special Jury Prize pada Festival Film Internasional Singapura 2006, dan Special Jury Prize di Festival Film Internatiuonal Asia Pasifik Ke-51 tahun 2006. Masih di tahun 2005, Riri Riza menyutradarai film UNTUK RENA. Ia memenangkan Best Director Award di ajang Festival Film Independen International Brussel di tahun 2008 untuk karyanya, 3 HARI UNTUK SELAMANYA. Film LAsKAR PELANGI yang dirilirnya di akhir tahun 2008 merupakan kesuksesan fenomenal dan memenangkan beberapa penghargaan bergengsi, diantaranya SIGNIS Award dari Festival Film Internasional di Hong Kong tahun 2009.

Bersama Mira Lesmana, Jay Subyakto, Toto Arto, Hartati dan Erwin Gutawa, Riri berhasil menghidupkan panggung musikal Indonesia dengan menyutradarai Musikal Laskar Pelangi yang telah igelar di Kota Jakarta, Yogyakarta, bahkan di Singapura, sejak tahun 2010.

Tahun 2012 Riri hadir kembali di layar lebar lewat film "Atambua 39 derajat Celcius". Kini, di tahun 2013, Riri hadir lewat film terbarunya "Sokola Rimba"

Mira Lesmana (Produser)
Mira Lesmana berkuliah di Institut Kesenian Jakarta mengabil jurusan penyutradaraan, dan kemudian memilih menjadi Produser film sebagai karir utamanya. Kritikus film menempatkannya pada jajaran atas sebagai produser yang berpengaruh di Indonesia dan berpendapat seorang Mira Lesmana sulit ditebak aksinya, karena memproduksi rangkaian film yang masing-masing saling berbeda. Mulai dari yang sukses besar di box office nasional seperti 'Petualangan Sherina' dan 'Ada Apa Dengan Cinta', sampai yang menjadi sasaran para kritikus film seperti 'Eliana, Eliana". Dari project film feature dengan dana tervbatas seperti 'Untuk Rena', sampai 'GIE' yang merupakan produksi film besar. Mira Lesmana juga tidak sungkan merangkul sutradara baru berbakat, seperti yang dilakukannya pada film 'Garasi' arahan sutradara Agung Sentausa. Setelah memproduksi sebuah film perjalanan 'Tiga Hari Untuk Selamanya' (2007), pada tahun 2008 Ia mengangkat sebuah cerita dari novel bestseller karya Andrea Hirata, "LASKAR PElANGI", dan memecahkan rekor film Indonesia dengan jumlah penonton bioskop terbanyak yaitu 4,6 juta penonton. Sekuel film tersebut, "SANG PEMIMPI", dirilisnya pada tahun 2009, dan telah ditayangkan di lebih dari 20 negara di 5 benua.

Setelah 3 tahun absen memproduksi film layar lebar dengan kesibukannya menggelar panggung Musikal Laskar Pelangi, mendekati penghujung tahun 2012 Mira Lesmana kembali menghadirkan sebuah karya film layar lebar berjudul "Atambua 39 derajat Celcius". Dan di tahun 2013, bersama dengan Riri Riza, Mira Lesmana hadir lewat film "Sokola Rimba".

Gunnar Nimpuno (Sinematografi)
Gunnar Nimpuno menimba ilmu di Jurusan Desain Komunikasi Visual di Institut Teknologi Bandung sebelum melanjutkan ke jenjang SE untuk Master of Experimental Media and Cinematography di UK-Northern Media School. Ia lalu mendapat kesempatan sebagai Asisten Sutradara 2 untuk film 'Bendera' (2002) arahan Nan T. Achnas, kemudian sebagai Director of Photographer (DOP) untuk beberapa film pendek seperti 'Hullahoop Soundings' (2008), KDrupadi' (2008) dan 'Gay/Tidak' (2009). Dalam film 'Krazy Crazy Krezy' (2009) karya Rako Prijanto Ia pertama kali memegang peranan sebagai DOP) untuk film layar lebar. Gunnar yang akrab dipanggil Unay adalah salah satu sinematographer handal di perfilman Indonesia. Unay pernah menggarap film terkenal, seperti Sang Pemimpi, Modus Anomali, Rumah Dara dan The Killers serta Atambua 39 derajat Celcius.

Eros Eflin (Penata Artistik)
Pria kelahiran Padang Panjang ini pernah mengenyam pendidikan Seni Rupa di IKJ ini memulai karirnya sebagai art director leway iklan dan video klip, sebelum akhirnya diajak bekerjasama oleh Riri Riza dalam Petualangan Sherina. Setelah itu sejumlah film ikut digarapnya , antara lainRumah Ke Tujuh, Brownies, Mirror dan Untuk Rena, Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Negeri 5 Menara, Sang Penari, 9 Summer 10 Autums, Laura & Marsha, Hello Goodbye dan Atambua 39 derajat Celcius.

W. Ichwandiardono (Editor)
Lahir di Pekalongan tahun 1972, W. Ichwandiardono mendalami ilmu TV Editing di Fakultas Film Televisi di Institut Kesenian Jakarta. Ia menjajal kemampuannnya dengan mengerjakan sejumlah animasi dan editing iklan, film dokumenter serta video klip sebelum akhirnya mengerjakan editing untuk film layar lebar perdananya, 'Lovely Luna" (2004), disusul dengan 'Ruang' (2005 dan 'Badai Pasti Berlalu' (2006), ruma Maida (2009), Sang Pemimpi (2009), Lovely Man (2011), Atambua 39 derajat Celcius (2012), Mika (2013). Hasil kerjanya dalam film box office nasional 'Laskar Pelangi' (2008) dinominasikan dalam kategori Best Editing di Asian Film Awards tahun 2008.

Aksan Sjuman (Musik)
Sri Aksana Sjuman atau yang aktrab dengan panggilan Wong Aksan memulai karir musinya dengan manjadi drummer di beberapa band ternama, seperti Dewa dan Potret. Karirnya sebagai penata musik untuk film layar lebar dimulai tahun 2006 untuk film Dunia Mereka. Setelah itu sederet film terkenal pun mulai ia grap. Sebut saja The Photograph (2007) Lost in Love (2007), Laskar Pelangi (2008), Karma (2008), Garuda di Dadaku (2008), King (2008), Sang Pemimpi (2009), Minggu Pagi di Victoria Park (2010), Tanah Air Beta (2010), Rindu Purnama (2011), Serdadu Kumbang (2011). Pernah juga tampil berakting layar lebar dalam film Kuldesak (1998), Lovely Luna (2004) dan Rayya, Cahaya Diatas Cahaya (2012). Dan lewat film Laskar Pelangi dan Sang Pemimpi, ia meraih penghargaan Festival Film Bandung tahun 2009 dan 2010. Dan lewat film King, Piala FFI pun berhasil diraihnya pada tahun 2009.

Satrio Budiono (Penata Suara)
Lulusan FISIP Unpar jurusan Administrasi Niaga ini pertama kali berkecimpung dalam bidang produksi film di Petualangan Sherina (1998). Sejak saat itu ia jatuh cinta dengan dunia film, dan telah menjadi penata suara di lebih dari 30 film layar lebar. Pria yang kerap dipanggil Yoyo ini, ternyata juga adalah seorang anak band ketika masih SMA dan kuliah, dan hal itu memberikan keuntungan sendiri bagi profesinya saat ini. "Basicnya saya dulu nge-band, jadi saya tahu dasar dari penataan suara," jelasnya. Selebihnya, ilmu tentang penataan suara dalam sebuah film ia pelajari secara otodidak. Sederetan judul film terkenal sudah digarapnya. Sebut saja Ada Apa dengan Cinta, Arisan, Gie, Berbagi Suami, Fiksi, Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Sang Pencerah, Di Bawah Lindungan Ka'bah, Habibie & Ainun.

Yusuf Patawari (Penata Suara)
Yusuf Patawari memulai karirnya di industri perfilman Indonesia sebagai boom operator untuk film Gie. Baru kemudian tahun 2007 ia mulai menjadi sound designer / Reocrodist untuk beberapa film ternama, seperti D'Bijis, Merah itu Cinta, Fiksi, Love in Perth, Minggu Pagi di Victoria Park, Modus Anomali, Di Bawah Lindungan Ka'bah, dan Sang Kiai. Pada tahun 2007 Yusuf masuk menjadi salah satu nominator Penata Suara Terbaik FFI untuk film Merah Itu Cinta, dilanjutkan tahun berikutnya untuk film Fiksi.



Tentang Miles Films
MILES Films adalah rumah produksi yang didirikan pada bulan Maret 1995 dan saat ini dipimpin oleh Mira Lesmana dan Riri Riza. Reputasi MILES Films langsung melejit di tahun 1996 berkat kesuksesan mereka memproduksi 14 episode doku-drama berjudul Anak Seribu Pulau.

Di akhir tahun 1999, dengan mengindahkan pesimisme masyarakat akan perfilman Indonesia, MILES Films mulai menempuh petualangan baru, memproduksi film layar lebar. Debut mereka bertajuk PETUALANGAN SHERINA, sebuah musikal anak-anak arahan sutradara Riri Riza. Film tersebut dirilis pada tahun 2000 dan segera menuai kesuksesan fenomenal hingga mencapai 1,6 juta penonton di Indonesia, dimana saat itu sudah 25 tahun masyarakat memandang perfilman lokal dengan sebelah mata.

Tahun 202, MILES Films kembali merilis ADA APA DENGAN CINTA? Yang disutradarai pembuat film muda Rudi Soedjarwo. Terjualnya 2,7 juta tiket film ini di loket box office membuatnya tercatat sebagai film yang berhasil mengajak penonton muda Indonesia kembali berkunjung ke teater bioskop.

Masih di tahun 2002, MILES Films bekerjasama dengan 1 Sinema dalam pembuatan dari perilisan sebuah film digital arahan sutradara Riri Riza berjudul ELIANA ELIANA yang menuai pujian banyak kritikus film dan diputar di banyak Festival Film Internasional. Termasuk penghargaan federasi kritikus film internasional FIPRESCY.

Sepanjang 2003 hingga 2007 Miles memproduksi film-film lebar berkualitas yang juga diminati penonton lokal maupun Festival Film Internasional. Seperti GIE (2005), Garasi dan Untuk Rena (2006), 3 Hari Untuk Selamanya (2007). Laskar Pelangi (2008) dan Sang Pemimpi (2009) yang disutradarai Riri Riza menjadi sangat fenomenal dengan memecahkan rekor film lokal dengan penonton terbanyak hingga mencapai 4,7 juta penonton bioskop dalam kurun waktu kurang dari 4 bulan. Laskar Pelangi diputar di lebih dari 20 festival internasional di 5 benua, dan meraih berbagai penghargaan bergengsi.

Pada tahun 2010 dengan bendera Miles Productions, Miles berhasil menggelar pertunjukan spektakuler Musikal Laskar Pelangi dan mengulang kesuksesan kedua di tahun 2011 dengan Musikal Laskar Pelangi Sesi II hingga membawa Musikal Laskar Pelangi tersebut ke Esplanade, Singapura di tahun yang sama.

Pada tahun 2012, MILES Films hadir kembali lewat film ATAMBUA 39 derajat CELCIUS. Film ini diundang pada sesi kompetisi di Tokyo International Film Festival 2012, International Film Festival Rotterdam 2013, CINEMASIE - Vesoul Asian Filmm Festival 2013 dan ASEAN International Film Festival & Awards (AIFFA) 2013 dimana Riri Riza mendapat penghargaan sutradara terbaik.

Dan di akhir tahun 2013, MILES Films menghadirkan film layar lebar terbarunya SOKOLA RIMBA yang diangkat dari buku Sokola Rimba karya Butet Manurung.


Label: , , , , , ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda