<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://draft.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d7808624031225959264\x26blogName\x3dInfo+InfoSinema\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://info-infosinema.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3din\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://info-infosinema.blogspot.com/\x26vt\x3d-5757315724398017633', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Kamis, 15 September 2011

Menjaga Batas-Batas Negara "Badai Di Ujung Negeri

BADAI DI UJUNG NEGERI, DRAMA ACTION SPESIAL PERSEMBAHAN QUANTA PICTURES YANG MENGANGKAT HAL PALING PENTING YANG SERING DILUPAKAN MAYORITAS MASYARAKAT DAN PEMERINTAH INDONESIA: MENJAGA BATAS-BATAS NEGARA

Jenis Film Drama - Pemain Arifin Putra, Astrid Tiar, Yama Carlos, Jojon, Ida Leman - Sutradara Agung Sentausa - Penulis Ari M Syarif - Produser Pingkan Warouw - Produksi Quanta Pictures.

Es Teler 77 Jakarta, 14 September 2011 - Ketika pertama kali ditawari untuk menyutradarai film ini pada awal 2010, Agung Sentausa (Garasi, 2006) sempat gamang. Sebagai orang muda yang mengalami masa-masa Reformasi 1998, hal yang berkaitan dengan tentara bukanlah isu favoritnya apalagi dalam film BADAI DI UJUNG NEGERI ini, tokoh utamanya adalah tentara. Namun ingatan akan keprihatinan yang sama atas kehilangan wilayah Sipadan-Ligitan yang luas wilayahnya sebesar provinsi Jawa Barat, diskusi panjang dengan produser, riset dan melihat langsung kondisi masyarakat perbatasan termasuk tentara yang ada di dalamnya selama berbulan-bulan, akhirnya kegamangan berganti dengan keyakinan kuat untuk menggarap isu penting masa kini yang sering dilupakan: prajurit di garis depan yang menjaga batas negara.

“Waktu itu memang sudah ada skenarionya tapi kemudian saya bersama penulis, Ari M Syarif, melakukan riset lagi termasuk pergi ke daerah-daerah perbatasan selama beberapa bulan untuk bisa mendapatkan arah yang diinginkan sesuai dengan misi dan visi kita dalam film ini. Baru kemudian, kita melakukan persiapan produksi dan shooting dilakukan pada Oktober-Desember 2010 dan 2 minggu shooting tambahan di Maret 2011,” jelas Agung.

“Film ini sangat multi-dimensional, dalam arti aspek yang diangkat itu dari berbagai sisi. Ada persoalan mendasar bagaimana para prajurit ini dituntut untuk selalu waspada dan profesional dalam mempertahankan negara namun ironisnya, alat utama sistem pertahanan yang dimiliki sangat terbatas dan bahkan sudah tidak layak. Suplai minyak untuk kapal yang dibawah dari cukup untuk patroli, radar kapal yang sudah tidak berfungsi bahkan paus lewat pun yang luar biasa besarnya saja tidak terdeteksi. Itu hanya contoh sedikit dari persoalan teknis. Di sisi lain, film ini juga menampilkan bahwa banyak masyarakat yang sangat apatis bahkan tidak suka dengan keberadaan tentara sementara seorang tentara sebenarnya juga manusia biasa yang memiliki persoalan pribadi meski mungkin sesepele soal cinta. Jadi dari berbagai dimensi tersebut, film ini menampilkan apa adanya kondisi-kondisi dan tanggung jawab seorang tentara di perbatasan yang bernama Badai. Seseorang yang dituntut tinggi secara profesionalitas namun juga seorang manusia biasa dengan segala kelebihan dan kekurangannya namun dengan jelas melakukan pilihannya: membela bangsa dan negara,” tambah Agung.

“Bagi kami dari Quanta Pictures, ide membuat film ini awalnya datang dari idealisme. Kami melihat bahwa persoalan perbatasan di negara kita ini erat kaitannya dengan isu nasionalisme dan patriotisme. Hal itu yang kami angkat dan gambarkan melalui kehidupan prajurit di perbatasan, terutama angkatan laut yang berada di garis depan menjaga perbatasan. Di sisi lain, pada kenyataannya seorang prajurit adalah manusia biasa dengan sisi humanisnya, dimana ia menjalani kehidupan sehari-hari dengan berbagai masalah yang dihadapi baik yang berkaitan dengan profesi maupun hal-hal pribadi. Selain alasan idealisme, pilihan mengangkat kisah ini dengan setting lokasi 70%-80% di laut merupakan pertimbangan komersial karena hal ini sangat jarang diangkat dalam film. Setting cerita dan lokasi ini bagaimanapun direpresentasikan oleh angkatan laut. Dengan setting masa kini dan adegan-adegan action-adventure yang menghibur, film ini kami posisikan untuk target generasi muda. Kami berharap melalui media film, dengan pilihan jenis film drama-action yang menghibur dimana film ini seperti film-film main stream lainnya, pesan-pesan dalam film bisa sampai kepada generasi muda yang akan meneruskan perjalanan negara dan bangsa ini,” jelas Pingkan Warouw selaku produser film ini.

BADAI DI UJUNG NEGERI yang pengambilan gambarnya sebagian besar dilakukan di provinsi Riau Kepulauan terutama di Pulau Bintan selama 4 bulan, dengan 90% di luar ruangan yang sekitar 70% lokasinya berhubungan dengan laut adalah tantangan yang luar biasa.

“Bagi saya, produksi film ini dengan tantangan yang rumit justru membuat saya terpacu dan senang. Di film ini terlihat bagaimana hasil kerja keras dan kreativitas luar biasa para kru dan pemain mengatasi tingkat kerumitan teknis pengerjaan film ini dengan lokasi yang lebih dari 70% berhubungan dengan laut, dimana adegan-adegan drama, romance, action, fighting, tembakan, rumah/pasar di atas air, perahu, kapal tanker, adegan di bawah laut, sampai di kapal terbang (adegan di udara), semua ada dalam satu film yang mencoba disajikan secara ringan dan semenghibur mungkin dan belum pernah dilakukan dalam film Indonesia. Namun produksi dengan skala sebesar ini dimana harus tersedia mulai dari persenjataan hingga kapal tanker dan pesawat, tidak mungkin bisa terjadi tanpa dukungan segala pihak dan institusi yang terkait dengan hal itu. Kami sangat berterima kasih pada berbagai pihak juga penduduk di pulau Bintan yang sangat antusias dalam membantu kelancaran shooting,” jelas Agung.

“Sebuah produksi dengan skala yang sebesar ini membutuhkan sumber daya yang besar dari berbagai pihak. Kami beruntung bahwa banyak pihak mempunyai visi dan misi yang sama dan sangat mendukung kami dalam pembuatan film ini, baik dari berbagai institusi negara seperti Pertamina dan Angkatan Laut, swasta, maupun pribadi. Selain dana dari Quanta Pictures sendiri, berbagai bantuan diberikan oleh berbagai pihak dalam bentuk supervisi, perizinan, penyediaan fasilitas produksi hingga pendanaan. Dimana dalam hal pendanaan, kami menggandeng investor lain bergabung.
Kami sangat berterima kasih kepada seluruh institusi negara, swasta, maupun pribadi seperti halnya Bapak Purnomo Yusgiantoro yang sekarang ini menjabat Menteri Pertahanan dan Keamanan, yang telah memberikan dukungan moril yang sangat berarti, serta semua pihak,” tambah Pingkan.

Bagi para pemain, film ini yang menampilkan aspek drama-action-adventure memberikan tantangan dan kenangan tersendiri.

“Siapa sih yang tidak ingin dapat peran di film action, sebagai tentara bersenjata dan gagah? Sebagai anak laki-laki, dulu saya ingin sekali jadi tokoh seperti yang saya liat di film-film action. Sekarang dapat perannya sebagai Badai di film ini. Lewat casting, belajar dialek Melayu sedikit, latihan fisik dan ikut bootcamp Marinir selama 8 hari dan proses reading, saya masuk ke karakter Badai. Memerankan Badai dan berakting dalam film ini adalah kesempatan dan kebanggaan yang luar biasa. Lewat peran ini, saya menjadi terbuka dan terinspirasi tentang kondisi masyarakat dan prajurit di perbatasan yang tuntutannya besar dengan tugas utama menjaga batas negara namun di lain pihak juga harus mengatasi kondisi serba kekurangan peralatan pertahanan, kecurigaan dan bahkan ketidaksukaan masyarakat terhadap tentara, sampai persoalan pribadi. Ini mungkin kisah yang kalau tidak bisa disebutkan pertama kali, tetapi kenyataannya sangat jarang diangkat di perfilman Indonesia. Pengalaman shooting selama berbulan-bulan di kondisi alam rawa, laut, darat, yang berat tapi juga indah bukan hanya memperkaya pengalaman tapi juga batin,” ujar Arifin Putra yang pertama kalinya mendapatkan peran utama dalam film layar lebar.

“Lewat BADAI DI UJUNG NEGERI, kita bisa melihat kondisi masyarakat di perbatasan, terutama masyarakat kepulauan yang dalam film ini digambarkan dinamikanya. Ada tokoh Anisa yang saya perankan, seorang perempuan muda warga lokal pintar yang terbuka dan modern tetapi juga kritis terhadap kenyataan dimana ia merasa sebagai orang yang tinggal di perbatasan, seringkali menjadi bagian dari masyarakat yang terpinggirkan dan bahkan terlupakan oleh negara. Ada tokoh ibu angkat Anisa, dokter Yana, pendatang idealis yang sudah lama menetap dan membela warga lokal yang sangat skeptis, curiga, bahkan membenci tentara. Sementara Anisa tidak bisa mengingkari perasaannya terhadap Badai sehingga bagaimanapun terombang-ambing dalam pilihan-pilihan antara ibunya dan Badai. Ada tokoh Nadim dan keluarganya, warga lokal keluarga nelayan yang sangat bersahaja begitu hangat dan tulus menerima Badai. Ada tokoh Pak Piter, pengusaha/pedagang lokal yang sangat berpengaruh. Dengan berbagai karakter yang ada, film ini menangkap dan menggambarkan keberagaman dan kompleksitas masyarakat perbatasan, yang bisa memberikan pengetahuan, menginspirasi, sekaligus menghibur penonton. Selain itu, realita keindahan dan kekayaan alam luar biasa yang dimiliki Indonesia juga diperlihatkan dalam film ini. Saya bersyukur bisa mengalaminya lewat shooting film ini,” ungkap Astrid Tiar.

Selain Arifin Putra dan Astrid Tiar, BADAI DI UJUNG NEGERI juga didukung jajaran pemain kawakan seperti Ida Leman sebagai dokter Yana dan Jojon sebagai Pak Piter, bersama para pemain muda berbakat seperti Yama Carlos, Edo Borne, Priady Muzy, Dedy Murphy, Kukuh Adi Rizky, dan Adrian Alim.

Penggarapan film ini didukung oleh para profesional perfilman Indonesia yang jejak rekamnya sudah terbukti seperti Padri Nadeak (Trilogi Merah Putih) sebagai penata sinematografi, Thoersi Argeswara (Gie, Trilogi Merah Putih) sebagai penata musik, Aline Jusria (Catatan Harian Si Boy) sebagai editor, dan Ipang yang menggarap lagu soundtrack film ini berjudul Nyali.

BADAI DI UJUNG NEGERI berkisah tentang Badai, seorang marinir yang ditugaskan di pos jaga perbatasan Indonesia di sebuah pulau di laut cina selatan. Penemuan mayat misterius mempertemukannya kembali dengan Joko, sahabat lama yang ditugaskan di kapal KRI. Anisa seorang gadis setempat mempertanyakan kepastian hubungannya dengan Badai. Badai ragu untuk membuat keputusan karena dia bisa dipindah tugaskan kapanpun, kemanapun. Dika, anak nelayan teman Badai ditemukan mati. Kesalahpahaman Joko dan Badai tentang kematian Nugi, adik Joko, mempengaruhi kerjasama mereka dalam menemukan siapa pembunuh Dika dan mayat-mayat lainnya yang belakangan bermunculan terapung di laut. Badai dan Joko dijebak ke pulau terpencil sementara para pembunuh merencanakan pembajakan sebuah kapal tanker di laut perbatasan, memanfaatkan kelemahan konflik di antara mereka dan kondisi kapal KRI yang sudah tua.

BADAI DI UJUNG NEGERI rilis serentak di bioskop secara nasional mulai 29 September 2011.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda