<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d7808624031225959264\x26blogName\x3dInfo+InfoSinema\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://info-infosinema.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3din\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://info-infosinema.blogspot.com/\x26vt\x3d-5757315724398017633', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe", messageHandlersFilter: gapi.iframes.CROSS_ORIGIN_IFRAMES_FILTER, messageHandlers: { 'blogger-ping': function() {} } }); } }); </script>

Selasa, 21 Mei 2013

Hadratussyaikh Sang Kiai

Jenis Film Drama - Pemain Ikranagara, Christine Hakim, Agus Kuncoro, Adipati Dolken, Meriza Febriyani, Dimas Aditya, Royhan Hidayat, Ernestan Samudera, Dayat Simbaia, Nobuyukil Suzuki, Andrew Trigg, Dias Shimada, Arswendi Nasution - Sutradara Rako Prijanto - Penulis Anggoro Saronto - Editing Cesa David Luckmansyah - Penata Kamera Muhammad Firdaus - Penata Rias Gunawan Saragih - Penata Rias Efek Sarwo Edi Kocom - Penata Kostum Gemailla Gea Geriantiana - Penata Artistik Frans X R Paat - Penata Suara Khikmawan Santosa, Yusuf Andi Patawari - Penata Musik Aghi Norotama - Soundtrack Lagu Ungu - Spesial Efek Adam Howarth - Produser Pelaksana Tutu Kolopaking, Taufik Kusnandar - Produser Eksekutif Sunil T. Samtani - Produser Gope T. Samtani - Produksi Rapi Films.

Info Film
Film : Sang Kiai
Durasi : 135 menit
Genre : Drama
Tayang : 30 Mei 2013
Produksi : Rapi Films
Website : www.filmsangkyai.com
Facebook : Film Sang Kyai
Twitter : @filmSANGKIAI
Link Trailer : http://www.youtube.com/watch?v=8-eObfltVgW

Pemain Film
1. Ikranagera : K.H. Hasyim Asy'ari
2. Christine Hakim : Nyai Kapu
3. Agus Kuncoro : K.H. Wahid Hasyim
4. Adipati Dolken : Harun
5. Meriza Febriani Batu bara : Sarinah
6. Dimas Aditya : Hosein (Penerjeman)
7. Royhan Hidayat : Khamid
8. Ernestan Samudera : Abdi
9. Dayat Simbala : K.H. Yusuf Hasyim
10. Nobuyukil Suzuki : Seiaburo Okazah
11. Andrew Trig : Brigadir Mallaby
12. Dimas Shimada : Komandan Tentara Jepang
13. Arswendi Nasution : K.H. Wahab Hasbulloh

Pembuat Film
Sutradara : Rako Prijanto
Produser : Gope T. Samtani
Produser Eksekutif : Sunil G. Samtani
Produser Pelaksana : Tutut Kolopaking, Taufik Kusnandar
Penata Kamera : Muhammad Firdaus
Penata Rias : Gunawan Saragih
Penata Rias Efek : Sarwo Edi Kocom
Penata Kostum : Gemailla Gea Geriantiana
Penata Artistik : Frans X R Paat
Penata Suara : Khikmawan Santosa, Yusuf Andi Patawari
Penata Musik : Aghi Norotama
Soundtrack lagu : Ungu
Special Efek : Adam Hoarth
Penyunting Gambar : Cesa David Luckmansyah
Casting Director : Sanca Khatulistiwa
Penulis Naskah : Anggoro Saronto

Sinopsis

Hadratussyaikh
Sang Kiai

Pendudukan Jepang ternyata tidak lebih baik dari Belanda. Jepang mulai melarang pengibaran Bendera Merah Putih, melarang lagu Indonesia Raya dan memaksa rakyat Indonesia untuk melakukan Sekerei.

KH Hasyim Asy'ari sebagai tokoh besar agamis saat itu menolak untuk melakukan sekerei karena beranggapan bahwa tindakan itu menyimpang dari aqidah agama Islam. Menolak karena sebagai umat Islam, hanya boleh menyembah kepada Allah SWT. Karena tindakannya yang berani itu, Jepang menangkap KH Hasyim Asy'ari.

KH Wahid Hasyim salah satu putra beliau mencari jalan diplomasi untuk membebaskan KH Hasyim Asy'ari. Berbeda dengan Harun, salah satu santri KH Hasyim Asy'ari yang percaya cara kekerasanlah yang dapat menyelesaikan masalah tersebut. Harun menghimpun kekuatan santri untuk melakukan demo menuntut kebebasan KH Hasyin Asy'ari. Tetapi Harun salah karena cara tersebut malah menambah korban berjatuhan.

KH Wahid Hasyim berhasil memenangkan diplomasi terhadap pihak Jepang dan KH Hasyim Asy'ari berhasil dibebaskan. Pada masa ini KH Hasyim Asy'ari menikahkan Harun dengan Sarinah gadis yang dicintainya.

Ternyata perjuangan melawan Jepang tidak berakhir sampai disini. Jepang memaksa rakyat Indonesia untuk melimpahkan hasil bumi.

Jepang menggunakan Masyumi yang diketuai KH. Hasyim Asy'ari untuk menggalakkan bercocok tanam. Bahkan seruan itu terselip di ceramah sholat Jum'at. Ternyata hasil tanam rakyat tersebut harus disetor ke pihak Jepang. Padahal saat itu rakyat sedang mengalami krisis beras, bahkan lumbung pesantren pun nyaris kosong. Harun melihat masalah ini secara harfiah dan merasa bahwa KH. Hasyim Asy'ari mendukung Jepang, hingga ia memutuskan untuk pergi dari pesantren.

Jepang kalah perang, Sekutu mulai datang. Soekarno sebagai presiden saat itu mengirim utusannya ke Tebuireng untuk meminta KH Hasyim Asy'ari membantu mempertahankan kemerdekaan. KH Hasyin Asy'ari menjawab permintaan Soekarno dengan mengeluarkan Resolusi Jihad yang kemudian membuat barisan santri dan masa penduduk Surabaya berduyun-duyun tanpa rasa takut melawan sekutu di Surabaya. Gema resolusi yang didukung oleh semangat spiritual keagamaan membuat Indonesia beranai mati.

Harun dan teman-teman santrinya bergabung untuk melawan sekutu. Sari yang meninggalkan pesan cinta dalam saputangan putih, sangat berat melepas suaminya untuk ikut berperang.

Di Jombang, Sarinah membantu barisan santri perempuan merawat korban perang dan mempersiapkan ransom. Barisan laskar santri pulang dalam beberapa truk ke Tebuireng. KH Hasyin Asy'ari menyambut kedatangan santri-santrinya yang gagah beranai, tetapi air mata mengambang di matanya yang nanar.

Catatan Sutradara
Menterjemahkan Tradisional Moderat dalam sebuah gambar yang mempunyai rasa merupakan tantangan tersendiri untuk saya. Dari awal production design sampai eksekusi, benang merah yang bernama "Tradisional Moderat" itulah yang selalu kami pegang. Bagaimana terjemahan tradisional dalam sebuah gambar, suara dan artistik yang begitu melihat langsung bisa dirasakan, dan bagaimana para karakter ini yang hidup dengan sangat tradisional tetapi mempunyai ide dan pemikiran yang sangat maju.

Beban berat selalu saya coba rasakan karena disamping untuk mengingatkan saya tapi juga untuk menjaga film ini. Mem-film-kan tokoh sebesar Kiai Haji Hasyim Asy'ari tidaklah seperti membuat film biasa. Karena ketokohan beliau berasal dari kaum agamis, negarawan, budayawan dan juga karena beliau adalah seorang manusia biasa. Tidak saja sebagai pemimpin agama tetapi juga sebagai seorang suami, ayah, kakek dan pahlawan bagi banyak orang di negeri ini. Sisi kemanusiaan beliau-lah yang mungkin akan sangat menarik jika diangkat dalam sebuah cerita. Bagaimana atmosfer di sekitar beliau berputar mengikuti kemana perginya arus dan bagaimana perputaran arus itu membawa dampak ke kehidupan beliau. Dan Kiai Hasyim Asy'ari adalah bukan kiai biasa. Kiai Haji Hasyim Asy'ari adalah Maha Kiai peletak dasar kemerdekaan Indonesia.

Dengan bantuan berbagai pihak saya merasa bisa mengatasi sekat-sekat keterbatasan pengetahuan saya yang dibutuhkan dalam film ini. Oleh karena itu saya ingin mengucapkan banyak-banyak terima kasih kepada semua pihak yang sudah meluangkan waktunya untuk membantu saya, baik secara lisan maupun tesis-tesis doktoral dan buku-buku wajib yang harus saya baca. Dan ternyata semua itu belum cukup. Karena esensi sosiolog kehidupan pesantren tidak pernah saya rasakan. Untuk itu saya ucapkan banyak terima kasih kepada Gus Mus yang sudah mengingatkan saya tentang pentingnya ras itu. Bekal itulah yang kemudian saya coba terjemahkan kepada setiap aktor dan aktris yang berperan dalam film ini.

Setelah selama tiga tahun perjalanan yang panjang dan sangat menguji keyakinan dan keseriusan saya akhirnya saya bisa menghadirkan film ini ke tengah masyarakat Indonesia. Semoga film ini dapat diterima dengan baik karena menurut saya ini adalah sebuah film yang sangat utuh yang bisa kita nikmati bersama. Dan semoga film ini selalu mempunyai tempat tersendiri bagi setiap penontonnya. InsyaAllah. -Rako Prijanto-

Catatan Produksi

Kisah bertemakan kepahlawanan tentang perjuangan Indonesia telah banyak diproduksi dan diangkat ke layar lebar. Namun perjuangan kemerdekaan bumi pertiwi ini lewat peranan kaum agamis kurang terangkat, padahal kaum ini memiliki andil yang sangat besar.

Peran serta semangat K.H. Hasyim Asy'ari dalam mempertahankan kemerdekaan dan melawan penjajah yang timbul karena spiritual keagamaan, khususnya Islam. Menurut Rako Prijanto, selama ini unsur tersebut kurang diperhatikan dan diangkat dalam tema film perjuangan. Masyarakat Indonesia dapat memahami ajaran dan perjuangan KH. Hasyim Asy'ari. Tidak banyak yang tahu tentang kehidupan dan perjuangan beliau untuk agama dan bangsanya. Untuk itu, pengetahuan terhadap beliau secara utuh mutlak diperlukan.

"Dalam dasar negara kita, Pancasila pun bahkan sila yang paling pertama menyebutkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang berarti bahwa masyarakat negara Indonesia adalah masyarakat agamis", ujar Rako, sutradara film SANG KIAI. Pria kelahiran 4 Mei 1973 ini pada akhirnya menggagas sebuah kisah yang mengangkat kisah perjuangan kaum agamis pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia lewat film SANG KIAI.

SANG KIAI, sebuah film kolosal terbaru produksi Rapi Films yang mengangkat kisah perjuangan ulama kharismatik pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, K.H. Hasyim Asy'ari, yang menjadi salah satu tokoh kunci dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Beliau adalah tokoh sentral perjuangan pada saat itu, era 1942-1947, yang sangat menentukan dengan mengerahkan santri "pejuang" untuk melawan sekutu. Lewat "Resolusi Jihad", tokoh yang dijuluki Hadratus Syeikh atau Maha Guru ini menghimbau dan mengajak para santri pejuang untuk berjihad fisabillillah melawan penjajah yang kemudian melahirkan peristiwa perang besar yang kita kenal sebagai Hari Pahlawan 10 November 1945.

Yang menarik bahwa ketokohan K.H. Hasyin Asy'ari dapat menjadi referensi tokoh panutan bagi masyarakat Indonesia. Selain itu SANG KIAI sangat lengkap dalam esensi sebuah film, yaitu: Edukasi, Menghibur, Estetika dan Eksklusif. "Mengedukasi yaitu memberikan penonton tentang sebuah pandangan baru tentang sejarah Indonesia, khususnya pada masa kemerdekaan. Menghibur dengan sebuah sajian film yang utuh, baik secara cerita dan emosi. Penggarapan desain produksi yang sangat baik. Dan ini adalah film pertama yang mengangkat penokohan KH Hasyim Asy'ari dan Nahdhatul Ulama serta peran mereka dalam sejarah kemerdekaan Bangsa ini," tutur Rako.

"Gagasan film SANG KIAI ini sudah diungkapkan Rako sebelum fim 'Sang Pencerah'. Namun untuk mendalami dan mencerna kisah ini dengan baik membutuhkan waktu yang cukup lama", ucap Gope Samtani, produser film Sang Kiai ini.

Demi keakuratan cerita, film SANG KIAI membutuhkan waktu lama untuk mempersiapkannya dan memakan waktu hingga 2,5 tahun. Proses pencarian informasi sejarah, pencarian lokasi yang sesuai, pemilihan pemain yang cocok dengan masing-masing karakter, hingga meminta ijin kepada keluarga besar K.H. Hasyim Asy'ari untuk mengangkat kisahnya menjadi sebuah film.

"Kami sempat kesulitan pada saat kasting memilih pemain. Film ini adalah film sejarah yang tokoh karakternya pernah hidup, sehingga kami harus mencari sosok yang benar-benar mirip, dan tentu saja harus professional", ujar Rako.

Baginya, tidak ada kandidat lain yang cocok memerankan tokoh pendiri Nahdatul Ulama itu kecuali Ikranegara. "Pemilihan itu berdasarkan bukan saja usia yang mendekati tokoh sebenarnya yang dimainkan, tetapi fisik dan wajahnya mendekati karakter K.H. Hasyim Asy'ari. Untuk kemampuan aktingnya tentu tak perlu diragukan lagi," Rako menambahkan.

Untuk mengimbangi Ikranegara, tentu Rapi Films ingin memberikan bobot tersendiri dalam film ini. Terlebih lagi peran yang akan dimainkan adalah sebagai istri K.H. Hasyim Asy'ari, Nyai Kapu. Peran tersebut pun dipercayakan kepada aktris senior, Christine Hakim. "Tetapi lebih dari smua itu, memang Christine Hakim lah yang paling tepat. Siapa lagi yang bisa menggantikan beliau?", Rako menuturkan dengan mantap.

Ada kejadian unik di balik produksi yang menyangkut tokoh K.H. Hasyim Asy'ari dan Nyai Kapu. Pada saat proses reading, Ikranegara dan Christine Hakin mengajak perjalanan ke Kediri untuk pendalaman karakter. Pada suatu malam tiba-tiba Ikranagara tiba-tiba berbau hal irasional terjadi kepada dirinya. Pergelangan tangan kanannya tiba-tiba berbau kayu cendan tanpa diketahui hal itu bisa terjadi. Lain halnya dengan yang dialami Christine Hakim. Pada suatu pagi dalam perjalanan itu, ia memutuskan untuk memakai kostum Nyai Kapu saat acaa berkunjung ke pesantren Kapuredjo - tempat kelahiran istri K.H. Hasyim Asy'ari. Ketika turun dari mobil tiba-tiba para sesepuh pesantren menyambut dan langsung memanggil Christine Hakim dengan sahutan 'Eyang Putri Kundur (pulan)'. "Kedua hal ini seperti mengisyaratkan bahwa mereka seperti telah mendapatkan restu untuk memerankan dua tokoh dalam film ini. Membayangkan masih membuat saya merinding hingga sekarang", cerita Rako.

Dalam film SANG KIAI, Ikranegara dan Christine Haki beradu akting dengan sederet aktor muda, seprti Agus Kuncoro (sebagai KH Wahid Hasyim), Adipati Dolken (sebagi Harun), dan Dimas Aditya (sebagai Husyein(, Meriza Febriani (sebagai Sari) dan pemain muda lainnya.

Tak hanya itu, untuk menghasilkan film yang benar-benar bernuansa perjuangan kemerdekaan, tim produksi sempat kesulitan untuk menemukan siapa yang cocok untuk karakter-karakter orang Jepang, Inggris, Bung Tomo, dan Gus Dur kecil. Rapi Films akhirnya menggandeng artis asal Jepang dan Belanda. Mereka adalah Suzuki Nobura sebagai Kumakichi Harada dan Andrew sebagai Brigadir Mallaby. Untuk sosok Bung Tomo diperankan oleh Ahmad Fhtoni dan Gus Dur kecil diperankan oleh Ahmad Zidan.

Film SANG KIAI ini selain membutuhkan waktu persiapan yang cukup lama, dalam masa pengambilan gmbar melibatkan 500 kru dan 5.000 pemain. Syuting film berlatar belakang tahun 1940-an ini mengambil lokasi di Kediri, Gondang, Magelang, Ambarawa dan Semarang dan memakan waktu 60 hari syuting. Tahap akhir penyelesaiannya dikerjakan dalam 8 bulan. Film SANG KIAI merupakan film terbesar Rapi Films.

Pada saat produksi, kru sempat menemui hambatan pada saat melakukan perijinan pemakaian lokasi. Rako menjelaskan, "Lokasi yang dipakai ibaratnya sangat 'perawan', atau belum pernah dipakai untuk shooting sama sekali, karena lokasi tersebut merupakan aset milik Pangdam IV Diponegoro."

Film ini menjadi lebih istimewa dengan khadiran grup band papan atas, Ungu, sebagai pengisi soundtrack-nya. Ungu menciptakan secara khusus dua judul lagu untuk film ini, "Bila tiba" dan "Bunga".

Rako menuturkan bahwa lewat SANG KIAI ingin menyajikan kepada masyarakat Indonesia sebuah film yang dapat dinikmati secara maksimal yang memberikan pembelajaran mengenai nasionalisme lewat sudut pandang agamis negara ini. Kita menyadari dan mengerti sudut pandang baru cita-cit dibentuknya negara Indonesia. "Sudut pandang melalui agama dan nasionalisme bukanlah dua kutub yang berbeda. Berawal dari agama kemudian timbul rasa nasionalisme yang pada akhirnya sepakat membentuk sebuah negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa untuk mewujudkan masyarakat beradab dan pemerintahan yang adil, bersatu membentuk negara kesatuan Republik Indonesia yang keputusan tertingginya berdasarkan permusyawaratn dan perwakilan, sehingga terciptalah masyarakat yang adil dan sentausa," sang sutradara menjelaskan.

Saksikan Film SANG KIAI tayang serentak di seluruh bioskop Indonesia mulai 30 Mei 2013.

Biografi Pemain

Ikranegara
Aktor kelahiran Loloan Barat, Bali, 19 September 1943, yang juga seorang sutradara dan sastrawan. Darah seni begitu lekat dalam dirinya. Sejak kecil diperkenalkan pewayangan oleh ayahnya yang berprofesi sebagai dalang dan pembuat wayang. Sang ibu pun menularkan kegemarannya yaitu menulis. Tercatat sudah 12 film berhasil dibintangi oleh pria yang pernah diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, ini, antara lain Bernapas Dalam Lumpur (1970), Cinta Biru (1977), Kejarlah Daku Kau Kutangkap (1985), Laskar Pelangi (2008), dan Sang Pencerah (2010). Bakat dan kerja kerasnya pun telah diakui, diantaranya penghargaan yang berhasil ia raih seperti Pemeran Pembantu Pria Terpuji Festival Film Bandung 92009), dan Pemeran Utama Pria Terbaik Indonesian Movie Award (2009).

Christine Hakim
Beruntung Indonesia memiliki aktris sekaliber Herlina Chrsitine Natalia Hakim, atau lebih dikenal dengan nama Christine Hakim. Selama berkarier selama 30 tahun dalam dunia sinema Indonesia, Wanita kelahiran Jambi, 25 Desember 1956 ini tercatat sudah pernah meraih supremasi tertinggi dalam perfilman Indonesia, yaitu 6 Piala Citra. Prestasi ini belum ada yang menyamai oleh aktris Indonesia lainnya hingga kini. Ia juga ebagai orang Indonesia pertamayang pernah menjadi juri kehormatan Selection officielle "Feature Films" dalam Festival Film Cannes di tahun 2002 bersama dengan sejumlah sineas dunia lainnya seperti David Lynch, Sharon Stone, dan Michelle Yeoh. Debut filmnya, Cinta Pertama (1973), langsung memberikan Christine Hakim sebuah penghargaan "Pemeran Utama Wanita Terbaik" di ajang Festival Film Indonesia tahun 1974. Sejak saat itu, sejumlah film yang dibintanginya merupakan film berkualitas. Sebut saja Badai pasti Berlalu (1977), Tjoet Nya' Dhien (1998), Daun Di Atas Bantal (1998), Pasir Berbisik (2001), Merantau (2009), hingga film produksi Hollywood, "Eat, Pray, Love (2010), yang dibintangi oleh Julia Roberts.

Agus Kuncoro
Mengawali karirnya lewat film Saur Sepuh IV: Titisan Darah Biru (1991), akhirnya membuka kesempatan Agus Kuncoro untuk terus bertahan di dunia film. Pria kelahiran Jakarta, 11 Agustus 1972, ini semakin melejit namanya lewat peran Azzam di sinetron religi, Para Pencari Tuhan. Film yangpernah dibintanginya di antaranya adalah Sang Pencerah (2010), Tanda Tanya (2011), Ambilkan Bulan (2012), Cinta Tapi Beda (2012), dan Gending Sriwijaya (2013).

Adipati Dolken
Penggemar jenis musik rock ini mulai dikenal sejak membintangi sinetron remaja berjudul Kepompong, yang empat menjadi program andalan salah satu TV swasta tanah air. Adipati Koesmadji, atau yang dikenal dengan Adipati Dolken, pun merambah dunia layar lebar lewat film Putih Abu-abu dan Sepatu Kets di tahun 2009. Aksi pria kelahiran 19 Agustus 1992 ini pun makin memikat saat mendapatkan peran di film drama 18+ dan horor komedi Pocong Keliling, yang keduanya dirilis tahun 2010. Peran utama akhirnya ia mainkan dan semakin dewasa di film Malaikat Tanpa Sayap (2012) sebagai Vino dan Perahu Kertas 1 dan 2 (2012) sebagai Keenan.

Meriza Febriani Batubara
Meriza Febriani Batubara atau yang lebih akrab disapa Icha ini mengawali karir sebagai model dan menjadi salah satu finalis Gadis Sampul tahun 2005. Wajahnya kerap menghiasi iklan-iklan komersial di berbagai media cetak dan elektronik, juga video klip band Indonesia. Meski awalnya mengaku kurang tertarik dengan akting, kini Icha merasa tertantang untuk memerankan orang lain yang berbeda dengan karakternya. Sebelum film Sang Kiai, wanita asal Bandung kelahiran 16 Februari 1989 ini telah membintangi dua film, Mama Cake (2012) dan Sang Pialang (2013).

Dimas Aditya
Namanya dikenal luas oleh masyarakat Indonesia berkat debut film layar lebar Kawin Kontrak (2008). Pria kelahiran Jakarta, 7 September 1984 ini pun merasa beruntung beradu akting dengan Lukman Sardi, yang juga bermain di filmitu karena ia bisa mencuri ilmu dari sang aktor tersebut. Setelah itu Dimas pun bermain di beberapa film Indonesia lainnya, seperti D.O. (Drop Out) (2008), Get Married 2 (2009), dan Affair (2010). Di film Sang Kiai, pemilik nama asli Adimas Raditya ini berperan sebagai Hosein, seorang penerjemah bahasa Jepang sekaligus saksi mata perjuangan Hasyim Asy'ari dalam merebut kemerdekaan. Ia pun mempelajari bahasa negeri matahari terbit tersebut selama tiga minggu demi mendalami karakter yang dimainkannya.

Royhan Hidayat
Sebelum terjun ke dunia film, Royhan Hidayat atau yang akrab disapa Roy ini, lebih banyak tampil sebagai bintang iklan di beberapa produk, mulai dari sirup, rokok, hingga permen karet. Karirnya semakin menanjak saat memerankan Rohim di sinetron Pesantren dan Rock n Roll. Begitu melekatnya peran itu, pria yang pernah belajar ilmu akting pada Hanung Bramantyo ini bahkan kerap dipanggil Rohim oleh orang-orang di sekitarnya, termasuk keluarga. Perannya sebagai Khamid di film Sang Kiai, tentunya akan memberikan kesegaran tersendiri lewat aktingnya.

Ernestan Samudera
Berawal dari pemain teater keliling ternyata memberikan banyak pelajaran untuk Ernest Samudera dalam mengembangkan bakat aktingnya. Terbukti ia pun dipercaya memerankan Said dalam film adaptasi novel Negeri 5 Menara (2012). Lulusan Under America Liberty, Malaysia ini juga kerap bermain dalam film- film indie.

Dayat Simbala
Sebelumnya dikenal dengan sebutan Dayat Icil, kini remaja kelahiran Madura, 13 Juli 1996 ini mulai beranjak dewasa. Namanya pun diubah menjadi Dayat Simbaia. Ia merupakan jebolan ajang pencarian bakat Idola Cilik pertama yang sempat menjadi program andalan salah satu televisi swasta tanah air di tahun 2008. Bersama teman-temannya, Dayat membentuk sebuah boyband bernama Stanza yang cukup popular di kalangan remaja. Tak hanya di bidang bernyanyi, Dayat juga menjadi bintang iklan dan sinetron, sebut saja seperti Faiz dan Faiza, Nino Manusia Ikan, dan memainkan peran di berbagai FTV. Karirnya semakin berkembang dengan masuk dalam dunia layar lebar yaitu film Tebus dan Janji Sang Pemberani, yang keduanya dirilis tahun 2011.

Nobuyuki Suzuki
Film bertemakan perang bagi aktor kelahiran Tokyo, 20 Juli 1963 ini bukanlah hal yang asing lagi. Tercatat Sang Kiai merupakan film keempat dengan tema yang sama. Tercatat sudah banyak Nobuyuki Suzuki berakting dalam film layar lebar Indonesia. Film-filmnya seperti Untuk Rena (2006), Naga Bonar Jadi 2 (2007), Cinta Setaman (2008), Kawin Laris (2006), Rumah Maida (2009), Hati Merdeka (2011) serta Soegija (2012) adalah bukti diri pria yang sudah 16 tahun tinggal di Indonesia itu cukup ktif di Industri film Indonesia.

Arswendi Nasution
Tak perlu diragukan lagi kemampuan akting Arswendi Nasution berkat jam terbang tinggi di dunia panggung teater. Andalan kelompok Teater Mandiri pimpinan Putu Wijaya ini pun tetap rendah hati dan tetap bersedia main teater dengan grup mana saja dan dengan lawan main siapa saja. Tak heran, keseriusan dalam setiap peran yang dimainkan membawanya pentas di Broadway pada tahun 1989. Pernah tampil dalam film besutan (alm) Nyak Abbas Akup berjudul Semua Karena Ginah (1985) dan Boneka dari Indiana (1990). Film lainnya antara lain Eliana, Eliana (2002), Pintu Terlarang (2009), Belenggu (2012), dan Sanubari Jakarta (2012).

Andrew Trigg
Selain menjadi aktor, pria asal Inggris ini adalah seorang sutradara. Pada tahun 1986, ia pertama kali jatuh cinta pada dunia peran di University of Warwick. Sempat terlibat dalam beberapa produksi mahasiswa, seperti I'm Dreaming Or Am I? karya Luigi Pirandello dan The Tooth of Crime karya Sam Shepard. Tahun 1988, ia pindah ke Jakarta dan bermain serta menyutradarai sejumlah pentas teater berbahasa Inggris. Pria yang mendalami film di Film School Sydney ini juga mengajar di salah satu universitas swasta di Jakarta untuk penyutradaraan, penulisan skrip, hingga akting.

Biografi Pembuat Film

Rako Prijanto (Sutradara)
Rako Prijanto lahir di Magelang, 4 Mei 1973. Mengawali karirnya sebagai asisten sutradara Rudy Soedjarwo dan Riri Riza. Bintang Jatuh (2000) bersama Rudi Soedjarwo menjadi debut di dunia filmnya. Saat Mira Lesmana menggarap Ada Apa Dengan Cinta (2002), ia dipercaya untuk menulis puisi cinta Rangga. Tak disangka, seiring dengan meledaknya film tersebut, puisi yang terdapat dalam film pun populer di kalangan anak muda. Ia pun sempat menjadi pemain di beberapa film, seperti Tragedi (2001), Eliana, Eliana (2002), dan Arisan! (2003). Setelah ilmunya dirasa cukup, barulah pria lulusan jurusan Ekonomi Perbankan ini menjadi sutradara yang ditandai lewat film Ungu Violet (2005). Deretan film yang digarap oleh Rako adalah D'Bijis (2007), Merah Itu Cinta (2007), Oh My God (2008), Benci Disko (2009), Roman Picisan (2010), dan Malaikat Tanpa Sayap (2012).

Aghi Norotama (Penata Musik)
Banyak project film dan iklan yang pria kelahiran 12 April 1976 ini pernah jalani dan meraih penghargaan. Awalnya, ia mulai jatuh cinta dengan scoring film saat menonton film Goonies (1985), terutama saat adegan kejar-kejaran mobil. Sejak itu setiap menonton film, ia selalu menyimak score-nya. Debutnya di Detik Terakhir (2005), namun saying musik yang telah dikerjakan pada hasil akhirnya dihilangkan tanpa sepengetahuannya. Setelah itu, ia bertemu Nia Dinata dan dipercaya untuk menggarap score film Berbagi Suami (2006). Akhirnya lulusan dari Associate Degree in Audio Production, Art Institute of Seattle, Amerika Serikat ini meraih penghargaan Penata Musik Terpilih di ajang Festival Film Jakarta. Aghi pun turut andil dalam film Quickie Express (2007), Kala (2007), Radit dan Jani (2007), Meraih Mimpi (2009), Negeri 5 Menara (2012), dan lain-lain.

Cesa David Luckmansyah (Editor)
Sebelummenjadi editor film, Cesa David Luckymansyah bekerja sebagai fotografer dan creative director di sebuah rumah produksi di Bandung. Sempat mengenyam pendidikan kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bandung tahun 1995, namun ia tidak menyelesaikannya. Ketertarikannya pada audio visual membuat pria kelahiran 8 Desember 1976 ini pindah mempelajari dunia film di Jurusan Film Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta pada tahun 1999. Berbagai film berhasil ia garap dengan baik, diantaranya Brownies (2004), Catatan Akhir Sekolah (2005), Cinta Silver (2005), Jakarta Undercover (2007), Mengaku Rasul (2008), Garuda Di Dadaku (2009), Emak Ingin Naik Haji (2009), dan RectoVerso (2013). Lewat film Get Married (2007), Cesa meraih penghargaan di Festival Film Indonesia sebagai Editing Terbaik.

Anggoro Saronto (Penulis Skenario)
Bakat dan hobinya dalam menulis, mengantarkan pria yang lahir di Jakarta ini dalam menapaki karirnya. Menulis puisi dan cerpen, adalah awal sekaligus gerbang Anggoro memasuki dunia layar lebar. Sekitar tahun 2002–2003, lulusan Ekonomi Universitas Brawijaya, Malang, dan lulusan S2 di Psikologi Sosial UI ini sangat rajin mengirimkan karya tulisnya ke Kompas dan Femina. Untuk menembus dunia layar lebar yang menjadi impiannya, tawaran untuk menulis skenario untuk sinetron dan FTV pun dilakoninya. Sebuah workshop penulisan skenario akhirnya benar-benar menjawab impiannya, dan kala itu Titien Wattimena adalah tutor sekaligus juru kunci Anggoro. Hasil karyanya di drama bisa ditemui di Malaikat Tanpa Sayap (2012), Seandainya (2012), dan Sang Pialang dengan supervisi dari Titien Wattimena.

Ungu (Soundtrack Lagu)
Terbentuk sejak 1996, Ungu seringkali engalami perombakan formasi pada awal karirnya. Namun mulai 2001 hingga saat ini, formasi yang diusungnya – Sigit Purnomo Syamsudin Said atau Pasha (vokal), Franco Medjaya Kusuma atau Enda (gitar), Arlonsy Miraldi atau Oncy (gitar), Makki O. Parikes atau Makki (bass), dan Muhammad Nur Rohman atau Rowman (drum) – semakin solid dan terus berkibar sebagai grup band papan atas di Indonesia. Produktivitas band asal Jakarta ini pun telah menghasilkan 6 album studio dan 4 album religi sepanjang karirnya. Selain hitsmaker yang telah dibuktikan lewat berbagai penghargaan, band ini kerap mengisi soundtrack untuk beberapa film Indonesia, seperti Cokelat Stroberi (2007), Ayat-Ayat Cinta (2008), dan Sang Pemimpi (2009).

Adam Howarth (Spesial Efek)
Pria kelahiran 5 Desember 1968 ini menghabiskan 10 tahun di Artem Visual Effects di Inggris untuk mendesain dan membangun berbagai minatur dan segala sesuatu yang berhubungan dengan efek spesial yang digunakan dalam film. Ia berhasil memukau penonton dengan keahliannya tersebut lewat film Darah Garuda (2010), Badai di Ujung Negeri (2011), dan Java Heat (2013). Beberapa film Hollywood garapannya, seperti Rescue Dawn (2006), Eat Pray Love (2010), The Philosophers (2013).


Label: , , ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda