HONEYMOON Komedi Tentang Keperawanan dan Pernikahan
HONEYMOON
Komedi tentang Keperawanan dan Pernikahan
HONEYMOON adalah komedi romantik yang akhirnya membuka pandangan 3 karakter cowok masa kini tentang keperawanan, sekaligus memberi jawaban tentang arti pasangan sebenarnya, atau dikenal dengan soulmate bukan sekedar berkriteria kesucian. Melalui jalinan kisah yang ringan dari 3 sahabat pria dan 3 wanita dengan latar belakang berbeda. Film HONEYMOON, membuka mata kita tentang pengertian bahwa jodoh adalah rahasia Tuhan.
Penggarapan film ini dipercayakan kepada Findo Purwono HW, sedangkan musik dikerjakan oleh Joseph S Djafar. Editor senior Wawan I Wibowo menangani editingnya, sedangkan Khikmawan Santosa menjaga kualitas design suaranya. Film HONEYMOON melibatkan banyak pemain diantaranya: Shireen Sungkar, Al Fathir Muchtar, Nino Fernandez, Sylvia Fully R, Ardina Rasti, Wakid Khalid, Meriam Bellina, Jaja Mihardja, Lydia Kandau, Caroline Elodie, Indra Bekti, Dr Boyke, Fera Feriska, Ghina Salsabila, Prilly Latuconsina, Garneta Haruni, Titi Qadarsih, Mastur, Maya Otos, dll.
Saksikan mulai 5 Juni 2013 di bioskop-bioskop kesayangan Anda.
Catatan Sutradara – Findo Purwono HW
Saya Findo Purwono HW mau mengucapkan terima kasih terlebih dahulu untuk produser Starvision Bapak Chand Parwez Servia yang telah mempercayakan pembuatan film HONEYMOON kepada saya. Pertama kali saya diberikan skenario yang ditulis oleh Diana Ali Baraqbah saya sangat terkesan karena Pak Parwez menjelaskan ke saya kalau penulis skenario ini telah melakukan riset untuk mendalami masalah yang dikenal sebagai vaginismus, yaitu masalah wanita yang mengalami trauma sampai dia takut untuk berhubungan intim dengan suami nya sendiri. Saya awalnya sempat kaget, karena terus terang saya sendiri belum terlalu mendalami apa itu vaginismus. Setelah saya diberi waktu oleh produser untuk membaca artikel riset dan skenario yang dibuat Diana Ali, saya baru mengerti bahwa vaginismus sangat fatal sekali untuk seorang wanita apalagi yang sudah berumah tangga. Saya sangat tidak membayangkan betapa kecewanya si suami kalau mengetahui istrinya tidak bisa atau takut untuk berhubungan intim.
Setelah saya baca artikel riset dan skenario nya yang awalnya berjudul Vaginismus itu saya meeting lagi dengan pak Parwez sebagai produser film ini, dan langsung bilang saya sangat tertarik dengan cerita ini. Kenapa saya tertarik karena permasalahan unik dalam cerita ini yang berkembang menjadi problematik hubungan suami istri yang sangat dahsyat.
Tetapi saya dengan produser sepakat untuk mengemas film ini dengan nuansa drama komedi romantis, jadi problematik si istri yang diperankan Shireen Sungkar dengan suaminya yang diperankan oleh Fathir Muchtar, saya buat dengan kelucuan-kelucuan mulai dari perkenalan mereka sampai dengan mereka nikah, hingga malam pertama dan seterusnya si suami belum berhasil mendapatkan keperawanan si istri. Usaha-usaha Fathir sebagai seorang suami untuk mendapatkan keperawanan istrinya sangat lucu dan dramatik, karena berbagai cara dilakukan yang berakhir dengan kekonyolan yang tidak membuahkan hasil. Ditambah lagi dengan bintang senior Meriam Bellina yang menjadi mother dari Fathir dan Jaja Miharja yang menjadi babe dari Fathir sangat lucu, dengan karakter mereka yang sangat antusias untuk segera mendapatkan cucu. Lydia Kandau juga turut berperan sebagai ibu dari Shireen Sungkar, karakter seorang ibu yang sangat protektif menjaga anaknya dari pergaulan bebas yang tidak benar.
Inti dari akhir cerita film ini juga sarat dengan pesan moral, bahwa kebahagiaan kehidupan keluarga tidak dinilai dari keperawan saat nikah, karena ukurannya kebahagiaan dalam keluarga tidak semata itu, seorang istri bisa saja seorang janda atau masih gadis. Kebahagian pasangan itu dilihat dari apa yang bisa diberikan pasangan kita dengan cinta yang tulus, jangan dilihat dari apa kekurangan yang dimiliki dari pasangan kita itu sendiri.
Di film saya yang ke 19 ini, HONEYMOON paling berkesan untuk saya, karena saya mendapatkan sebuah cerita yang diangkat ke film dengan problematik sangat unik yang disebut sebagai syndrome vaginismus. Penulis skenarionya juga sangat serius untuk melakukan riset tentang ini.
Sekali lagi saya ucapkan terima kasih untuk Pak Parwez dan Starvision yang telah mempercayakan saya untuk menggarap film ini, dan semoga film ini dapat menghibur dan diterima oleh banyak penontonnya...Amin.
Catatan Penulis – Diana Ali Baraqbah
Rasa takut berlebihan atau phobia sering kita alami, namun bagaimana dengan ‘phobia terhadap seks’? Pertanyaan itu-pun mengapung dalam ruang imajinasi saya, sehingga terbentuk-lah gagasan dan deskripsi mengenai fenomena yang ‘absurd’, namun secara ilmiah dan medis terbukti bahwa tidak sedikit wanita mengalaminya. Deskripsi yang ada dalam mindset langsung saya tuangkan dalam kerangka kisah discovery of vaginismus yang mungkin pertama dan satu-satunya yang diangkat secara rasional, berdasarkan ilmu psikologi dan seksologi yang akan divisualisasikan dalam sebuah film.
Mungkin istilah vaginismus masih ‘asing’ di telinga masyarakat Indonesia, perlu diketahui bahwa vaginismus bukan penyakit namun cenderung faktor psikologis, trauma masa lalu yang pernah dialami Farah paska menyaksikan tragedi pemerkosaan sahabatnya, Kania, menyisakan memori buruk terhadap seks. Di sini terlihat bahwa meski tidak mengalami sama sekali trauma fisik namun trauma psikis, tetap ‘menghantui’ diri Farah hingga memasuki gerbang pernikahan. Malam pertama yang seharusnya menjadi moment terindah bagi sepasang suami-istri yang tengah jatuh cinta ini, tiba-tiba berubah menjadi ‘nightmare’ yang mengerikan bagi Farah, dan sebagai suami, David terpaksa ‘menyimpan’ hasratnya hingga malam-malam berikutnya yang selalu berakhir dengan adegan konyol yang menggelitik.
Keunikkan Farah sebagai tokoh istri yang tidak bisa ‘berkomitmen’ di ranjang ini menambah aksen komedi, namun sekaligus akan menguras keharuan karena kegetirannya sebagai seorang yang tidak bisa disebut gadis maupun seorang wanita dalam konotasi istri sesungguhnya. Kepergian Farah dan David untuk ‘berbulan-madu’ adalah plot point di mana wisata berdua yang harusnya fun itu secara tidak terduga terjadi kelucuan-demi-kelucuan yang akan mengocok perut, bahkan saat membayangkan-pun saya sebagai penulis sampai tidak kuat menahan tawa.
Selain menghibur, kisah ini memiliki pesan yang amat penting bagi pasangan suami-istri maupun pra nikah, bahwasannya cinta suci bisa mengalahkan nafsu, dan kesabaran menerima ‘kekurangan’ pasangan adalah esensi dari hakikat pernikahan. Jika yang telah resmi menjadi suami-istri saja bisa menahan nafsu apalagi yang masih pacaran? Pesan positif itulah yang ingin saya angkat dalam kisah ini. Rasa optimisme menyelimuti saya dalam mengerjakan ide cerita- yang saat itu masih dengan judul asli Vaginismus- sebab kisah perihal makna sebuah ‘keperawanan’ masih diperlukan oleh kalangan yang tidak hanya membutuhkan hiburan semata, namun memiliki unsur edukasi detail mengenai arti sebuah kesucian tanpa meng-gurui.
Alhamdulillah, setahun lalu tepatnya bulan Juni 2012 rasa optimisme saya terjawab, pak Parwez menghubungi saya berselang 2 hari setelah pengajuan proposal berupa ide cerita tersebut, beliau bahkan sekaligus mempercayakan saya menjadi penulis skenarionya, beyond my expectation karya saya akan diapresiasi secepat ini. Saya sangat berterima kasih kepada pak Parwez yang sangat obyektif menilai karya saya, meskipun saya tergolong ‘orang baru’ di dunia perfilman, tentu saja kesempatan emas itu saya pergunakan sebaik mungkin.
Kepercayaan serta kesempatan yang diberikan Produser semakin mengibarkan bendera spirit saya dalam berkarya, sehingga dalam waktu 3 minggu saya berhasil menyelesaikan skenario draft 1 (pertama), merasa tidak puas diri. Beberapa bulan kemudian saya berinisiatif kembali me-revisi hingga sebanyak tiga kali. Sebagai scriptwriter pemula yang harus menyelesaikan skenario tanpa bantuan orang kedua, merupakan suatu tantangan tersendiri. Meski sempat dilanda keraguan, saya berusaha yakin bahwa bekerja dengan hati akan menghasilkan karya yang berdedikasi dan dapat dipertanggung-jawabkan. Alhamdulillah sekali lagi, saya memperoleh kabar yang menggembirakan, setelah beberapa pertimbangan skenario saya pun dipakai dengan perubahan judul menjadi HONEYMOON. Perubahan tersebut bukan tanpa alasan, saya sadari judul Vaginismus terkesan ‘condemned’ berbeda dengan HONEYMOON lebih catchy sesuai content cerita yang penuh komedik dan intrik. Harapan saya, semoga sesuai pula dengan judulnya HONEYMOON film ini akan semanis madu, dan bersinar seperti bulan di belantika perfilman Indonesia.
Sinopsis
Terkhianati oleh cinta dari Zevana –berprofesi sebagai artis dan model- yang diharapkan bisa menjadi istri idamannya, membuat David -seorang pengusaha sukses- berinisiatif untuk segera mencari pendamping hidup yang masih suci dan tak pernah terlibat pergaulan bebas. Di kota Metropolis yang tak lagi mempertanyakan arti ‘virginitas’ David berhasil menemukan jawaban dari seorang gadis cantik bernama Farah yang sangat menjunjung tinggi ‘kehormatannya’ sebagai wanita. Tak perlu waktu yang lama bagi David untuk segera menjatuhkan pilihan pasangan hidupnya pada Farah, dan segera menikahinya.
Malam pertama yang diimpi-impikan sepasang pengantin baru, malah berubah menjadi malam yang menakutkan bagi Farah, ia masih belum siap menjalankan ‘hubungan suami-istri’ sebagaimana mestinya. Dugaan ‘tanda-tanda kehamilan’ Farah membuat sang mertua yang sangat mendambakan seorang cucu itu segera memeriksakannya ke Dokter, dan apa yang terjadi? Mother David benar-benar ‘shock’ mengetahui menantunya tersebut dinyatakan masih ‘perawan’ di bulan ketiga pernikahannya, sungguh diluar dugaan.
Sampai akhirnya mereka pergi Honeymoon, namun eksotika dan romantika resort tak mampu mencairkan ‘ketakutan’ Farah. Kelucuan-demi-kelucuan terjadi pada Honeymoon mereka, tak heran David justru menganggap Honeymoon-nya tidak ‘fun’ namun ‘funny’, dan terlebih lagi bukan kenikmatan yang didapat David, bahkan akibat kesalah-pahaman ia harus pasrah kena pukulan karena diduga ‘memperkosa’ istrinya sendiri.
Akhir kisah begitu dramatis ketika Farah mengetahui dirinya dilanda syndrome vaginismus akibat trauma masa lalu. Ia merasa bukan-lah wanita seutuhnya karena tak bisa menjadi istri dan menantu keluarga David yang menginginkan kehadiran seorang cucu. Gejolak batin Farah semakin teriris manakala mendapati suaminya berada di sebuah hotel bersama wanita ‘genit’ yang notabene sekretarisnya. Merasa terkhianati, Farah-pun memutuskan bercerai dari David, keputusan yang ingin diambilnya itu disambut hangat oleh Brian -suami dari istri yang telah menipu kesuciannya- Rachel.
Akankah syndrome vaginismus menghancurkan cinta antara Farah dan David, dan bagaimana kelanjutan hubungan Brian dan Rachel -istri yang dibencinya- karena tak bisa memberikan kesuciannya kepada suaminya tersebut?
Sebuah film tentang filosofi menghargai pasangan, dan menyadari bahwa menjadi ‘pemilih’ justru menyulitkan menemukan ‘kebahagiaan sejati’. Saksikan kisah HONEYMOON di Bioskop-bioskop kesayangan Anda!
Cast & Crew
Shireen Sungkar - Farah
Al Fathir Muchtar - David
Nino Fernandez - Joe
Sylvia Fully R - Marsha
Ardina Rasti - Rachel
Wakid Khalid - Brian
Meriam Bellina - Mother David
Jaja Mihardja - Babe David
Lydia Kandau - Ibu Farah
Caroline Elodie - Sherly
Indra Bekti - Dokter Kandungan
Dr Boyke - Dr Boyke
Fera Feriska - Gadis
Ghina Salsabila - Farah Belia
Prilly Latuconsina - Kania Belia
Garneta Haruni - Zevana
Titi Qadarsih - Ibu Brian
Mastur - Pak Kasmin
Maya Otos - Ajeng
Producers : Chand Parwez Servia, Fiaz Servia
Director : Findo Purwono HW
Executive Producers : Riza, Reza Servia, Mithu Nisar
Line Producer : Enny Nuraeni
Screenplay : Diana Ali Baraqbah
Director Of Photography : Boy Ferdinal
Art Director : Oscar Ferdinan
Editor : Wawan I Wibowo
Sound Designer : Khikmawan Santosa
Music Director : Joseph S Djafar
Videographic : Capluk
Make Up & Wardrobe : Zhaenal Zhein
Photographer : Rezha PN
Poster Designer : Mindstream | Idea.Factory
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda