Catatan Produksi Film Soekarno
Epicentrum XXI Jakarta, 9 Desember 2013 - Jenis Film Drama - Pemain Ario Bayu (Soekarno), Maudy Kusnaedi (Inggit Garnasih), Tika Bravani (Fatmawati), Lukman Sardi (Mohammad Hatta), Ferry Salim (Jenderal Sakaguchi), Tanta Ginting (Sjahrir), Agus Kuncoro (Gatot Mangkuprojo), Sujiwo Tejo (Raden Soekemi - ayah Soekarno) - Sutradara Hanung Bramantyo - Produser Raam Punjabi - Produksi MVP Pictures, Mahaka Pictures, Dapur Films - Durasi 137 menit - Rilis 11 Desember 2013.
Sinopsis Film Soekarno
Dulunya bernama Kusno. Tubuhnya kurus dan sering sakit-sakitan. Oleh bapaknya nama Kusno diganti Sukarno. Besar harapan anak kurus itu menjelma menjadi ksatria layaknya tokoh pewayangan - Adipati Karno. Harapan bapaknya terpenuhi, umur 24 tahun Sukarno berhasil mengguncang podium, berteriak: “Kita Harus Merdeka Sekarang!!!” Akibatnya, dia harus dipenjara. Dituduh menghasut dan memberontak. Tapi keberanian Sukarno tidak pernah padam. Pledoinya yang sangat terkenal ‘Indonesia Menggugat’ mengantarkannya ke pembuangan di Ende, lalu ke Bengkulu.
Di Bengkulu, Sukarno istirahat sejenak dari politik. Hatinya tertambat pada gadis muda bernama Fatmawati. Padahal Sukarno masih menjadi suami Inggit Garnasih, perempuan yang lebih tua 12 tahun dan selalu menjadi ‘perisai’ baginya ketika dipenjara maupun dalam pengasingan. Kini, Inggit harus rela melihat sang suami jatuh cinta. Di tengah kemelut rumah tangganya, Jepang datang mengobarkan perang Asia Timur Raya. Berahi politik Soekarno kembali bergelora.
Hatta dan Sjahrir, rival politik Sukarno, mengingatkan bahwa Jepang tidak kalah bengisnya dibanding Belanda. Tapi Sukarno punya keyakinan, “Jika kita cerdik, kita bisa memanfaatkan Jepang untuk meraih kemerdekaan”. Hatta terpengaruh, tapi Sjahrir tidak. Kelompok pemuda progresif pengikut Sjahrir bahkan mencemooh Sukarno-Hatta sebagai kolaborator. Keyakinan Sukarno tak goyah.
Sekarang, kemerdekaan Indonesia terwujud pada tanggal 17 Agustus 1945. Tapi apakah itu kemerdekaan yang diharapkan? Jangan-jangan apa yang kita peringati setiap tahun itu hanyalah upah bagi Sukarno karena telah bekerja untuk Jepang?
Di atas kereta kuda, Haji Oemar Said (HOS) Cokroaminoto berwejang kepada Sukarno muda: “Manusia itu sama misteriusnya dengan alam, tapi jika kau bisa menggenggam hatinya, mereka akan mengikutimu”.
Kalimat ini selalu dipegang Sukarno sampai dia mewujudkan mimpinya: Indonesia Merdeka!
(end/ MVP Pictures)
Catatan Produksi Film SOEKARNO
Kalimat Bung Karno: “Jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah”, atau disingkat ‘Jas Merah’’, diucap saat pidato terakhir masa jabatan BK selaku mandataris MPRS, 17 Agustus 1966. Begitu jelas maksud dan relevansinya. Bung Karno, sebagai seorang visioner, sadar bahwa sejarah bangsa bukanlah sekadar masa lalu. Sejarah adalah miles stone yang menjadi ukuran kemajuan suatu bangsa. Negara-negara besar belajar dari segala kepahitan dan kegagalan sebelumnya. Sejarah mengajarkan untuk tidak mengulangi kesalahan masa lalu.
‘American Dreams’ terwujud karena penghormatan mereka pada sejarah. Bangsa-bangsa Eropa begitu menjunjung masa lalunya. Dari masa lalu mereka belajar untuk melangkah maju. Ucapan filsuf Spanyol – George Santayana – begitu mengena: “Bahwa mereka yang tidak mengenal masa lalunya, dikutuk untuk mengulanginya.”
Sejarah tak ubahnya pondasi sebuah bangunan. Tanpa pondasi, kemajuan yang dicapai satu bangsa sangatlah rapuh. Bung Karno adalah founding father, peletak dasar berdirinya bangsa ini, sudah selayaknya namanya dicatat dengan tinta emas. Perjuangan Bung Karno yang penuh dinamika, dari penjara ke penjara, bisa membangkitkan kesadaran berbangsa. Namun Bung Karno sebagai ‘Bapak Bangsa’ tidak seharusnya dikultuskan atau menjadi mitos para pemuja ajaran Marhaen (kerakyatan).
Bung Karno tidak hanya digambarkan dalam sejarah yang dangkal tanpa melihat cara pandang Bung Karno sebagai manusia dengan visi yang jauh ke depan. Sosok Bapak Bangsa yang memiliki kompleksitas sebagai manusia. Sudah seharusnya ada sebuah film yang menuturkan kompleksitas Bung Karno tidak dalam kisah pemujaan, pengkerdilan atau malah pembelokan sejarah. Sekali lagi sejarah adalah multitafsir yang seharusnya diletakkan sebagai proses dialog.
Melalui film, perjalanan dan perjuangan Bung Karno ini diharapkan mampu menginspirasi generasi muda untuk terus mengobarkan mimpi menjadikan Indonesia sebagai bangsa besar nan mandiri!
Atas dasar pemikiran di atas FILM SOEKARNO diproduksi!
Tentang MVP PICTURES
Film Soekarno merupakan film produksi MVP Pictures didukung oleh Mahaka Pictures dan Dapur Films. MVP Pictures merupakan bendera yang digunakan untuk produksi film-film dari Multivision Plus (MVP). Sebelum 2004, film-film Multivision Plus menggunakan bendera usaha PT Parkit Films. Dan film-film yang sudah diproduksi MVP Pictures, di antaranya:
Soulmate (Belahan Jiwa), Selamanya, Pesan dari Surga, Selamanya, Cewek Gokil, Cowok Bikin Pusing, Ratu Kosmopolitan, Punk in Love, Kawin Kontrak, Kuntilanak, Pulau Hantu, Skandal, Married by Accident, Drop Out, Mudik, Obama Anak Menteng, Sang Pencerah, Ummi Aminah, Cinta Tapi Beda.
Informasi film Soekarno
www.filmsoekarno.com
Film dirilis pada 11 Desember 2013 (11-12-13)
Catatan Pendukung Film Soekarno
Ferry Salim
Sebagai Shizuo Sakaguchi
Jantung dan hati saya langsung berdetak kencang begitu diminta ikut casting film Soekarno. Apalagi setelah Hanung (Bramantyo) mempercayakan peran Jenderal Shizuo Sakaguchi kepada saya. Waduh makin bergemuruh saja emosi ini. Dalam pikiran saya, kapan syuting film ini segera dimulai. Yah, pada akhirnya saya jalani syuting awal film ini di Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Sungguh saya tersanjung mendapatkan peran sebegai Sakaguchi di film ini.
Bagi saya, karakter Sakaguchi sangat penting dalam perjalanan kemerdekaan Indonesia dan dalam hidup Bung Karno. Dari observasi saya, Sakaguchi termasuk jenderal kejam yang menghalalkan semua cara untuk tetap bercokol di tanah jajahan. Dari catatan sejarah, Sakaguchi seorang jenderal propaganda yang memaksa Soekarno menerima tawaran untuk menyediakan wanita-wanita penghibur bagi pasukan Jepang.
Jadi begitu dapat peran sebagai Jenderal Sakaguchi, saya langsung cari referensi film perang. Di antaranya Inglorious Baserd. Lalu film-film dokumenter perang yang melibatkan tentara Jepang. Termasuk dokumenter pasukan Jepang saat masuk ke wilayah Cina. Lumayan menginspirasi film-film yang saya tonton itu. Jujur, saya ingin total dalam produksi film Soekarno ini. Dan saya sangat yakin dengan kemampuan Hanung menggarap film ini.
Harapan saya sangat tinggi terhadap film film Soekarno. Ini bukan film sembaangan, film yang menyandang nama besar seorang pahlawan, proklamator, presiden pertama, founding father. Nama besar yang dikenal secara internasional. Saya yakin banyak orang yang ingin menyaksikan film ini jadinya seperti apa. Termasuk saya, sangat antusias menunggu seperti apa hasil dari kerja Hanung Bramantyo dan timnya.
Tanta Ginting
Sebagai Sutan Sjahrir
Saya pun sesungguhnya terkecoh dengan make-up yang dikerjakan tim kreatif film Soekarno. Wajah saya jadi begitu ol-skol banget. Dan banyak orang bilang sangat mirip Sutan Sjahrir. Padahal secara garis keturunan, tidak ada kaitan sama sekali antara saya dengan beliau. Setelah secara fisik hampir mirip, tinggal bagaimana saya mengeksplorasi kemampuan saya berakting. Maklum, saya merasa punya beban untuk memerankan seorang tokoh besar seperti Sjahrir. Apalagi Sutan Sjahrir dikenal memiliki ideologi yang tidak sejalan dengan Soekarno. Beberapa scene memperlihatkan saya harus berdebat dengan Soekarno yang diperankan Ario Bayu. Itu sangat menantang!
Memang scene yang saya perankan tidak banyak. Namun Sutan Sjahrir menjadi penting, karena di situlah letak menariknya dialog dirinya dengan Soekarno maupun Mohammad Hatta. Saya baru tahu bahwa Sjahrir dan Hatta itu sepupu.
Balik ke masalah referensi yang harus saya dapatkan untuk bisa memerankan Sjahrir. Ternyata, dokumentasi tentang beliau pun minim. Hanya dari pemikiran-pemikiran beliau yang sangat advance ketika bicara tentang politik dan ideologi, menjadi referensi paling mudah. Yang jelas, seperti Soekarno, Sjahrir sangat mencintai Indonesia. Ia tidak rela melihat penderitaan rakyat Indonesia. Itu sebabnya, ia memilih pulang kembali ke Indonesia, meskipun sesungguhnya ia bisa hidup enak saat menempuh pendidikan di Belanda.
Pada akhirnya saya menyadari bahwa ini film Soekarno, bukan film tentang Sjahrir. Makanya porsi adegan Sjahrir di film ini, juga tidak terlalu banyak. Sementara saya sudah telanjur menyelami tokoh Sjahrir ini. Harapan saya, kalau memang okoh-tokoh kemerdekaan ini diangkat, selain Bung Karno dan Mohammad Hatta, saya berharap dibuat film khusus tentang Sjahrir dan pemikirannya. Dan tentu saja, saya-lah yang paling cocok memerankan tokoh tersebut (ucap Tanta sambil tersenyum optimis)
Maudy Koesnaedi
Sebagai Inggit Garnasih
(istri kedua Bung Karno)
Maudy Koesnaedi memerankan Inggit Garnasih di film Soekarno. Garnasih adalah perempuan yang juga secara resmi menjalani pernikahan dengan Soekarno. Mengibaratkan kecantikan Garnasih adalah seperti pujian para pemuda masa itu, “Mendapatkan senyum dari Garnasih ibarat mendapatkan uang seringgit.”
Kata ‘seringgit’ -- pecahan uang nilainya sebesar dua setengah rupiah -- kemudian menjadi kata ‘Inggit’ dan melekat pada nama Garnasih. Jadilah nama lengkapnya Inggit Garnasih.
“Sebelum memerankan tokoh Bu Inggit di film Soekarno, saya sendiri sudah mendapatkan tawaran memerankan beliau di film lain. Dan sebelum saya terima tawaran bermain di film Soekarno, saya sudah melakukan riset tentang tokoh Inggit ini. Begitu banyak bahan saya dapatkan. Termasuk wawancara saya dengan anak angkat Bu Inggit, Bu Ratna Djoeami. Saya sangat mencintai karakter Bu Inggit. Dan saya merasakan bahwa Bu Inggit adalah perempuan yang sangat luarbiasa. Perempuan penuh keikhlasan. Pengorbanannya untuk suami (Soekarno) juga luar biasa. Saya juga merasa, Bu Inggit tida pernah menempatkan sebagai oposisi dari Bu Fatmawati,” jelas artis pehobi travelling dan penikmat seni ini.
Pemahaman Maudy terhadap tokoh Inggit Garnasih juga sangat mumpuni. Itu sebabnya, banyak sekali masukannya yang diberikan kepada tim kreatif film. “Saya yakin dengan arahan Mas Hanung (Bramantyo), sosok Ibu Inggit akan memiliki karakter yang lebih hidup. Harapan saya terhadap film ini sangat besar sekali. Setidaknya, penonton akan memahami seberapa besar sesungguhnya peran Ibu Inggit dalam perjalanan karir politik Bung Karno,” jelas artis kelahiran 8 April ini.
Tika Bravani
Sebagai Ibu Fatmawati
(istri ketiga Bung Karno)
“Dari dulu saya pengen banget bisa terlibat dalam produksi film kolosal seperti film Sang Pencerah. Dan Mas Hanung (Bramantyo) memberikan kepercayaan itu pada saya untuk memerankan Ibu Fatmawati. Wah, sosok Ibu Negara yang mendampingi Bung Karno saat Indonesia mengumumkan kemerdekaan. Sungguh tak terbayangkan sebelumnya,” jelas artis kelahiran Denpasar 23 tahun lalu ini.
Tika Bravani awalnya merasa terbebani menerima peran sebagai Bu Fat. “Saya kesulitan mencari referensi yang obyektif. Pendapat orang lain atau masukan yang saya terima sering tidak sesuai dengan hasil observasi sendiri. Tapi pada satu titik saya harus memutuskan dan menginterpretasi setiap scene yang di skenario. Saya tidak mau kehilangan fokus bisa memerankan sosok Bu Fat. Saya kira ketakutan awal saya sudah terlewati,” ucap artis yang pernah bermain di film Alangkah Lucunya Negeri Ini!
Untuk memudahkan Tika memahami karakter Bu Fat, Tika tak sungkan bertanya pada orang-orang yang pernah dekat dengan Bu Fat. Ia juga membaca perjalanan hidup beliau. Juga berdasarkan potongan-potongan video tersedia. “Paling tidak, saya bisa menyesuaikan ciri dari Bu Fat. Saya merasa senyum saya sudah mendekati senyum beliau,” ucapnya yakin.
Dari pemahaman karakter, Tika Bravani yakin, Bu Fat memiliki pesona hebat. Daya tariknya, termasuk sifat keperempuanannya yang membuat sosok Bu Fat begitu dicintai Bung Karno. “Sejauh itu yang saya pelajari dan pahami tentang Bu Fat. Selebihnya saya serahkan kepada penonton nantinya,” ungkap Tika.
Harapan Tika sederhana, dengan menyaksikan film Soekarno, paling tidak penonton bisa memahami pemikiran Bung Karno. Pemujaan terhadap Bung Karno justru mendegradasi hasil pemikiran beliau. Bung Karno merupakan tokoh besar yang pernah dimiliki Indonesia. Layak bila beliau disanjung dan dipuja dan sejarah hidupnya pantas ditulis dengan tinta emas. Termasuk sosok Bu Fat yang setia mendampingi Bung Karno saat memproklamasikan negeri ini.
Sinopsis Film Soekarno
Dulunya bernama Kusno. Tubuhnya kurus dan sering sakit-sakitan. Oleh bapaknya nama Kusno diganti Sukarno. Besar harapan anak kurus itu menjelma menjadi ksatria layaknya tokoh pewayangan - Adipati Karno. Harapan bapaknya terpenuhi, umur 24 tahun Sukarno berhasil mengguncang podium, berteriak: “Kita Harus Merdeka Sekarang!!!” Akibatnya, dia harus dipenjara. Dituduh menghasut dan memberontak. Tapi keberanian Sukarno tidak pernah padam. Pledoinya yang sangat terkenal ‘Indonesia Menggugat’ mengantarkannya ke pembuangan di Ende, lalu ke Bengkulu.
Di Bengkulu, Sukarno istirahat sejenak dari politik. Hatinya tertambat pada gadis muda bernama Fatmawati. Padahal Sukarno masih menjadi suami Inggit Garnasih, perempuan yang lebih tua 12 tahun dan selalu menjadi ‘perisai’ baginya ketika dipenjara maupun dalam pengasingan. Kini, Inggit harus rela melihat sang suami jatuh cinta. Di tengah kemelut rumah tangganya, Jepang datang mengobarkan perang Asia Timur Raya. Berahi politik Soekarno kembali bergelora.
Hatta dan Sjahrir, rival politik Sukarno, mengingatkan bahwa Jepang tidak kalah bengisnya dibanding Belanda. Tapi Sukarno punya keyakinan, “Jika kita cerdik, kita bisa memanfaatkan Jepang untuk meraih kemerdekaan”. Hatta terpengaruh, tapi Sjahrir tidak. Kelompok pemuda progresif pengikut Sjahrir bahkan mencemooh Sukarno-Hatta sebagai kolaborator. Keyakinan Sukarno tak goyah.
Sekarang, kemerdekaan Indonesia terwujud pada tanggal 17 Agustus 1945. Tapi apakah itu kemerdekaan yang diharapkan? Jangan-jangan apa yang kita peringati setiap tahun itu hanyalah upah bagi Sukarno karena telah bekerja untuk Jepang?
Di atas kereta kuda, Haji Oemar Said (HOS) Cokroaminoto berwejang kepada Sukarno muda: “Manusia itu sama misteriusnya dengan alam, tapi jika kau bisa menggenggam hatinya, mereka akan mengikutimu”.
Kalimat ini selalu dipegang Sukarno sampai dia mewujudkan mimpinya: Indonesia Merdeka!
(end/ MVP Pictures)
Catatan Produksi Film SOEKARNO
Kalimat Bung Karno: “Jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah”, atau disingkat ‘Jas Merah’’, diucap saat pidato terakhir masa jabatan BK selaku mandataris MPRS, 17 Agustus 1966. Begitu jelas maksud dan relevansinya. Bung Karno, sebagai seorang visioner, sadar bahwa sejarah bangsa bukanlah sekadar masa lalu. Sejarah adalah miles stone yang menjadi ukuran kemajuan suatu bangsa. Negara-negara besar belajar dari segala kepahitan dan kegagalan sebelumnya. Sejarah mengajarkan untuk tidak mengulangi kesalahan masa lalu.
‘American Dreams’ terwujud karena penghormatan mereka pada sejarah. Bangsa-bangsa Eropa begitu menjunjung masa lalunya. Dari masa lalu mereka belajar untuk melangkah maju. Ucapan filsuf Spanyol – George Santayana – begitu mengena: “Bahwa mereka yang tidak mengenal masa lalunya, dikutuk untuk mengulanginya.”
Sejarah tak ubahnya pondasi sebuah bangunan. Tanpa pondasi, kemajuan yang dicapai satu bangsa sangatlah rapuh. Bung Karno adalah founding father, peletak dasar berdirinya bangsa ini, sudah selayaknya namanya dicatat dengan tinta emas. Perjuangan Bung Karno yang penuh dinamika, dari penjara ke penjara, bisa membangkitkan kesadaran berbangsa. Namun Bung Karno sebagai ‘Bapak Bangsa’ tidak seharusnya dikultuskan atau menjadi mitos para pemuja ajaran Marhaen (kerakyatan).
Bung Karno tidak hanya digambarkan dalam sejarah yang dangkal tanpa melihat cara pandang Bung Karno sebagai manusia dengan visi yang jauh ke depan. Sosok Bapak Bangsa yang memiliki kompleksitas sebagai manusia. Sudah seharusnya ada sebuah film yang menuturkan kompleksitas Bung Karno tidak dalam kisah pemujaan, pengkerdilan atau malah pembelokan sejarah. Sekali lagi sejarah adalah multitafsir yang seharusnya diletakkan sebagai proses dialog.
Melalui film, perjalanan dan perjuangan Bung Karno ini diharapkan mampu menginspirasi generasi muda untuk terus mengobarkan mimpi menjadikan Indonesia sebagai bangsa besar nan mandiri!
Atas dasar pemikiran di atas FILM SOEKARNO diproduksi!
Tentang MVP PICTURES
Film Soekarno merupakan film produksi MVP Pictures didukung oleh Mahaka Pictures dan Dapur Films. MVP Pictures merupakan bendera yang digunakan untuk produksi film-film dari Multivision Plus (MVP). Sebelum 2004, film-film Multivision Plus menggunakan bendera usaha PT Parkit Films. Dan film-film yang sudah diproduksi MVP Pictures, di antaranya:
Soulmate (Belahan Jiwa), Selamanya, Pesan dari Surga, Selamanya, Cewek Gokil, Cowok Bikin Pusing, Ratu Kosmopolitan, Punk in Love, Kawin Kontrak, Kuntilanak, Pulau Hantu, Skandal, Married by Accident, Drop Out, Mudik, Obama Anak Menteng, Sang Pencerah, Ummi Aminah, Cinta Tapi Beda.
Informasi film Soekarno
www.filmsoekarno.com
Film dirilis pada 11 Desember 2013 (11-12-13)
Catatan Pendukung Film Soekarno
Ferry Salim
Sebagai Shizuo Sakaguchi
Jantung dan hati saya langsung berdetak kencang begitu diminta ikut casting film Soekarno. Apalagi setelah Hanung (Bramantyo) mempercayakan peran Jenderal Shizuo Sakaguchi kepada saya. Waduh makin bergemuruh saja emosi ini. Dalam pikiran saya, kapan syuting film ini segera dimulai. Yah, pada akhirnya saya jalani syuting awal film ini di Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Sungguh saya tersanjung mendapatkan peran sebegai Sakaguchi di film ini.
Bagi saya, karakter Sakaguchi sangat penting dalam perjalanan kemerdekaan Indonesia dan dalam hidup Bung Karno. Dari observasi saya, Sakaguchi termasuk jenderal kejam yang menghalalkan semua cara untuk tetap bercokol di tanah jajahan. Dari catatan sejarah, Sakaguchi seorang jenderal propaganda yang memaksa Soekarno menerima tawaran untuk menyediakan wanita-wanita penghibur bagi pasukan Jepang.
Jadi begitu dapat peran sebagai Jenderal Sakaguchi, saya langsung cari referensi film perang. Di antaranya Inglorious Baserd. Lalu film-film dokumenter perang yang melibatkan tentara Jepang. Termasuk dokumenter pasukan Jepang saat masuk ke wilayah Cina. Lumayan menginspirasi film-film yang saya tonton itu. Jujur, saya ingin total dalam produksi film Soekarno ini. Dan saya sangat yakin dengan kemampuan Hanung menggarap film ini.
Harapan saya sangat tinggi terhadap film film Soekarno. Ini bukan film sembaangan, film yang menyandang nama besar seorang pahlawan, proklamator, presiden pertama, founding father. Nama besar yang dikenal secara internasional. Saya yakin banyak orang yang ingin menyaksikan film ini jadinya seperti apa. Termasuk saya, sangat antusias menunggu seperti apa hasil dari kerja Hanung Bramantyo dan timnya.
Tanta Ginting
Sebagai Sutan Sjahrir
Saya pun sesungguhnya terkecoh dengan make-up yang dikerjakan tim kreatif film Soekarno. Wajah saya jadi begitu ol-skol banget. Dan banyak orang bilang sangat mirip Sutan Sjahrir. Padahal secara garis keturunan, tidak ada kaitan sama sekali antara saya dengan beliau. Setelah secara fisik hampir mirip, tinggal bagaimana saya mengeksplorasi kemampuan saya berakting. Maklum, saya merasa punya beban untuk memerankan seorang tokoh besar seperti Sjahrir. Apalagi Sutan Sjahrir dikenal memiliki ideologi yang tidak sejalan dengan Soekarno. Beberapa scene memperlihatkan saya harus berdebat dengan Soekarno yang diperankan Ario Bayu. Itu sangat menantang!
Memang scene yang saya perankan tidak banyak. Namun Sutan Sjahrir menjadi penting, karena di situlah letak menariknya dialog dirinya dengan Soekarno maupun Mohammad Hatta. Saya baru tahu bahwa Sjahrir dan Hatta itu sepupu.
Balik ke masalah referensi yang harus saya dapatkan untuk bisa memerankan Sjahrir. Ternyata, dokumentasi tentang beliau pun minim. Hanya dari pemikiran-pemikiran beliau yang sangat advance ketika bicara tentang politik dan ideologi, menjadi referensi paling mudah. Yang jelas, seperti Soekarno, Sjahrir sangat mencintai Indonesia. Ia tidak rela melihat penderitaan rakyat Indonesia. Itu sebabnya, ia memilih pulang kembali ke Indonesia, meskipun sesungguhnya ia bisa hidup enak saat menempuh pendidikan di Belanda.
Pada akhirnya saya menyadari bahwa ini film Soekarno, bukan film tentang Sjahrir. Makanya porsi adegan Sjahrir di film ini, juga tidak terlalu banyak. Sementara saya sudah telanjur menyelami tokoh Sjahrir ini. Harapan saya, kalau memang okoh-tokoh kemerdekaan ini diangkat, selain Bung Karno dan Mohammad Hatta, saya berharap dibuat film khusus tentang Sjahrir dan pemikirannya. Dan tentu saja, saya-lah yang paling cocok memerankan tokoh tersebut (ucap Tanta sambil tersenyum optimis)
Maudy Koesnaedi
Sebagai Inggit Garnasih
(istri kedua Bung Karno)
Maudy Koesnaedi memerankan Inggit Garnasih di film Soekarno. Garnasih adalah perempuan yang juga secara resmi menjalani pernikahan dengan Soekarno. Mengibaratkan kecantikan Garnasih adalah seperti pujian para pemuda masa itu, “Mendapatkan senyum dari Garnasih ibarat mendapatkan uang seringgit.”
Kata ‘seringgit’ -- pecahan uang nilainya sebesar dua setengah rupiah -- kemudian menjadi kata ‘Inggit’ dan melekat pada nama Garnasih. Jadilah nama lengkapnya Inggit Garnasih.
“Sebelum memerankan tokoh Bu Inggit di film Soekarno, saya sendiri sudah mendapatkan tawaran memerankan beliau di film lain. Dan sebelum saya terima tawaran bermain di film Soekarno, saya sudah melakukan riset tentang tokoh Inggit ini. Begitu banyak bahan saya dapatkan. Termasuk wawancara saya dengan anak angkat Bu Inggit, Bu Ratna Djoeami. Saya sangat mencintai karakter Bu Inggit. Dan saya merasakan bahwa Bu Inggit adalah perempuan yang sangat luarbiasa. Perempuan penuh keikhlasan. Pengorbanannya untuk suami (Soekarno) juga luar biasa. Saya juga merasa, Bu Inggit tida pernah menempatkan sebagai oposisi dari Bu Fatmawati,” jelas artis pehobi travelling dan penikmat seni ini.
Pemahaman Maudy terhadap tokoh Inggit Garnasih juga sangat mumpuni. Itu sebabnya, banyak sekali masukannya yang diberikan kepada tim kreatif film. “Saya yakin dengan arahan Mas Hanung (Bramantyo), sosok Ibu Inggit akan memiliki karakter yang lebih hidup. Harapan saya terhadap film ini sangat besar sekali. Setidaknya, penonton akan memahami seberapa besar sesungguhnya peran Ibu Inggit dalam perjalanan karir politik Bung Karno,” jelas artis kelahiran 8 April ini.
Tika Bravani
Sebagai Ibu Fatmawati
(istri ketiga Bung Karno)
“Dari dulu saya pengen banget bisa terlibat dalam produksi film kolosal seperti film Sang Pencerah. Dan Mas Hanung (Bramantyo) memberikan kepercayaan itu pada saya untuk memerankan Ibu Fatmawati. Wah, sosok Ibu Negara yang mendampingi Bung Karno saat Indonesia mengumumkan kemerdekaan. Sungguh tak terbayangkan sebelumnya,” jelas artis kelahiran Denpasar 23 tahun lalu ini.
Tika Bravani awalnya merasa terbebani menerima peran sebagai Bu Fat. “Saya kesulitan mencari referensi yang obyektif. Pendapat orang lain atau masukan yang saya terima sering tidak sesuai dengan hasil observasi sendiri. Tapi pada satu titik saya harus memutuskan dan menginterpretasi setiap scene yang di skenario. Saya tidak mau kehilangan fokus bisa memerankan sosok Bu Fat. Saya kira ketakutan awal saya sudah terlewati,” ucap artis yang pernah bermain di film Alangkah Lucunya Negeri Ini!
Untuk memudahkan Tika memahami karakter Bu Fat, Tika tak sungkan bertanya pada orang-orang yang pernah dekat dengan Bu Fat. Ia juga membaca perjalanan hidup beliau. Juga berdasarkan potongan-potongan video tersedia. “Paling tidak, saya bisa menyesuaikan ciri dari Bu Fat. Saya merasa senyum saya sudah mendekati senyum beliau,” ucapnya yakin.
Dari pemahaman karakter, Tika Bravani yakin, Bu Fat memiliki pesona hebat. Daya tariknya, termasuk sifat keperempuanannya yang membuat sosok Bu Fat begitu dicintai Bung Karno. “Sejauh itu yang saya pelajari dan pahami tentang Bu Fat. Selebihnya saya serahkan kepada penonton nantinya,” ungkap Tika.
Harapan Tika sederhana, dengan menyaksikan film Soekarno, paling tidak penonton bisa memahami pemikiran Bung Karno. Pemujaan terhadap Bung Karno justru mendegradasi hasil pemikiran beliau. Bung Karno merupakan tokoh besar yang pernah dimiliki Indonesia. Layak bila beliau disanjung dan dipuja dan sejarah hidupnya pantas ditulis dengan tinta emas. Termasuk sosok Bu Fat yang setia mendampingi Bung Karno saat memproklamasikan negeri ini.
Lukman Sardi
Sebagai Mohammad Hatta
Berperan sebagai Bung Hatta memberi tambahan porto folio bagi Lukman Sardi memainkan tokoh-tokoh dengan karakter menantang. “Sejauh ini saya sudah obversasi bermacam materi juga nara-sumber. Termasuk keluarga Bung Hatta. Buku, video dan rekaman pidato-pidato Bung Hatta. Saat ini, saya mencoba menyesuaikan intonasi, tekanan-tekanan pengucapan maupun nada bicara beliau. Dan katanya ada nara sumber yang sangat memahami Bung Hatta. Kalau tidak salah namanya Rusdi Saleh. Itu referensi dari Bu Meutya (Hatta),” jelas aktor pemeran Kiai Dahlan di film Sang Pencerah ini.
“Tanggung jawab memerankan tokoh Hatta ini luar biasa besar. Beliau salah satu Bapak Bangsa, salah satu Proklamator, salah satu dari dwi tunggal. Dan saya harus bisa memenuhi harapan banyak pihak untuk memerankan Bung Hatta.”
Lukman melihat bahwa film Soekarno memiliki urgensi harus diproduksi. Penonton butuh tokoh atau panutan yang benar-benar bisa memotivasi dan memberi teladan. “Saya kira tokoh seperti Bung Hatta sangat sedikit untuk kondisi zaman sekarang. Apalagi anak-anak muda sekarang, saya rasa mereka tidak pernah kenal apa jasa dan peran Bung Hatta mendirikan negari ini. Itu sebabnya, saya sangat antusias memerankan tokoh ini. Memang benar ada tanggung jawab besar memerankan Bung Hatta, namun lebih besar lagi adalah semangat dan pesan yang ada dalam film dan harus bisa sampai kepada penonton. Jauh lebih penting lagi!” ucap Lukman yang diberi jas milik Bung Hatta oleh pihak keluarga.
“Berdasarkan referensi ada yang harus terus pahami, bahwa seorang Hatta sangat analitikal, tutur katanya tepat dan sepertinya kalau ada yang salah, beliau sudah delete terlebih dahulu dalam pikiran beliau sebelum terucapkan. Itu yang ingin saya pahami sebelum syuting film Soekarno berlangsung.”
Ario Bayu
Sebagai Soekarno/ Kusno Sosrodihardjo
Ario Bayu memerankan tokoh Soekarno saat usia 20-an tahun, atau saat Soekarno mulai menjalani pendidikan di Bandung. Sementara dalam film ada Soekarno kecil dan Soekarno berusia belasan. Namun dari skenario film, kurang lebih 90 persen merupakan tokoh yang diperankan Ario Bayu.
“Saya sadar harapan penonton terhadap karakter yang saya perankan cukup besar. Tapi harus dipahami bahwa tanggung jawab peran Soekarno ada di sutradara juga. Saya bisa menginterpretasi sosok Soekarno melalui referensi video, dialog dengan keluarganya, orang-orang terdekat, maupun tokoh-tokoh lain yang pernah bersinggungan dengan beliau. Jadi keberhasilan saya memerankan Soekarno ya harus didukung tim yang solid. Sampai shooting berakhir, saya melihat kerja keras dan soliditas tim produksi,” jelas aktor kelahiran 6 Februari 1985 ini.
Ario sadar, Soekarno adalah tokoh besar, founding father dan memiliki pengagum yang luar biasa banyak. Menurutnya, mungkin 200-an juta rakyat Indonesia nanti ingin melihat sosok Soekarno di film.
“Saya melihat urgensi kenapa film Soekarno harus dibuat. Bagaimana pun Soekarno adalah tokoh yang layak dijadikan panutan, ideologinya, semangat kebangsaannya, kecintaannya pada negeri ini, hingga keberaniannya melawan penindasan. Beliau harus hidup dari penjara ke penjara. Sampai ajal pun beliau juga harus dalam keadaan terpenjara,” ungkap bintang di film Java Heat, Death Mine, Serangoon Road ini.
“Yang jelas, tokoh Soekarno di film ini benar-benar memperlihatkan sisi manusianya. Dia bukan super-hero. Soekarno bukan manusia sempurna. Dia womanizer (pencinta wanita). Dan harus diakui punya sisi lemah dalam hidupnya. Ini yang harus kita pahami dan terima dari ketidaksempurnaan seorang Soekarno. Bahwa dia adalah Bapak Bangsa, Pemimpin Besar dan Proklamator itu harus kita akui.”
Label: film, info, infosinema, movie, soekarno
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda