Romantisme Bioskop Tua - Sejarah Bioskop Pertama Jakarta
PDS HB Jassin Jakarta, 2 Oktober 2013 - Tampak Wartawan Senior Yan Widjaya, Aktor Senior Hengy Solaiman, Ketua BPP Hipmi Bidang Parekraf Erik Hidayat, Ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Indonesia), Produser Starvision Chand Parwez Servia, Aktor Senior Roy Marten dan Host acara Arul Ariesta dari Kabarindo, hadir dalam acara Diskusi Rabuan K2SI (Komunitas KritiKSinema Indonesia) yang kali ini membicarakan Romantisme Bioskop Tua. Pada kesempatan tersebut Roy Marten sebagai Aktor Senior dan saat ini menjadi Humas FFI 20013 menyerahkan Bisa Award yang digagas K2SI dan Yayasan Pembelajar dengan BISA Award kategori Organisasi Profesional Peduli Film nasional.
Romantisme Bioskop Tua
Sejarah Bioskop Pertama Jakarta
PDS HB Jassin Jakarta, September 2013 - Bioskop pertama di Batavia diusahakan oleh seorang Belanda bernama Talbot "Gedung"nya sebuah bangsal berdinding gedek dan beratap kaleng di Lapangan Gambir. Setelah pertunjukan di Lapangan Gambir selesai, bioskop itu pun lalu dibawa keliling ke kota-kota lain.
Kemudian seorang Belanda yang lain bernama Schwarz mengikutinya. Mula-mula bioskop yang diusahakannya itu main di tempat orang belajar menunggang kuda, lalu di Kebon Jahe, dekat Tanah Abang. Terakhir bioskop Schwarz in menempati gedung di Pasar Baru. Sayang tak lama kemudian gedung permanen itu habis terbakar. Seorang Belanda lagi bernama de Callone mengusahakan bioskop Deca Park. Mula-mula berupa bioskop terbuka di lapangan yang dijaman sekarang disebut "misbar", gerimis bubar. Tetapi kemudian de Callone menggunakan sebuah gedung yang dinamakannya "Capitol" di Pintu Air.
Seorang pengusaha Cina setelah itu mendirikan pula bioskop di Pitnu Air. Nama bioskop itu ialah "Elite". Beberapa tahun kemudian bioskop itu dijual kepada Universal Film Co. Pada jaman itu penonton sangat menyukai film-film seperti Fantomas, Zigomar, Tom Mix, Edi Polo dan film lucu yang dibintangi oleh Charlie Chaplin, Max Linder, Arsen Lupin dan lain-lain. Film-film itu semua adalah film bisu yang diramaikan oleh orkes.
Sampai saat penyerahan Belanda kepada jepang pada tahun 1942, bioskop yang ada di Jakarta adalah sebagai berikut : "Rex" di Kramat Bunder, "Cinema" di Krekot, "Astoria" di Pintu Air, "Centraal" di Jatinegara, dua bioskop "Rialto", masing-masing di Senen dan Tanah Abang. Kemudian bioskop "Thalia" di Jalan Hayam Wuruk, "Olimo" yang sekarang tidak ada lagi, "Orion" di Glodok dan "Al Hambra" di Sawah Besar.
Bioskop Capitol di Pintu Air khusus di peruntukkan bagi orang Belanda saja. Sebagai perkecualian ialah para bupati dan anggota "Volksraad" bangsa Indonesia. Tarif "Capitol" cukup mahal pada jaman itu. Satu setengah gulden, tanpa kelas, sekarang bioskop ini sudah tidak ada lagi. Bioskop "Oost Java" terletak di pojok Merdeka Utara - Jalan Veteran III, sekarang sudah tidak ada lagi. Di Gedung inilah dulu berlangsung rapat umum yang diselenggarakan oleh Kongres Pemuda II. Dalam rapat umum ini W.R. Supratman dengan biolanya memperkenalkan lagu "Indonesia Raya" untuk pertama kalinya. Begitu juga bioskop "Rembrandt" di Pintu Air sekarang hanya tinggal kenangan saja bagi orang-orang tua yang pernah tinggal di Batavia.
Data-Data Teater / Bioskop Tanah Air:
DKI Jakarta
Golongan B, delapan bioskop, yaitu: Kusuma, Purnama, Dana, Bayu, Gedung Utama, Satriya, Chandra dan Surya Baru.
Golongan C ada enam, yaitu: Darmo, Suzanna, Bahari Jaya, Kalisosok, Seno dan megah Ria.
Golongan D ada 15 bioskop, yaitu: Cantik, Moelyo, Andhika, Stadion Gelora, Kantin KKO, Rejo Slamet, Putra, Juwita, Sari Mulyo, Paulus, Baruna, Srikandi, Taman Remaja, Tandes dan Widodo.
Hampir 50 Bioskop tua yang ada beberapa yang masih eksis
Ada yang anda mah ingat...!
Sandyakalaning Bioskop Tradisional
2573 Gedung Beralih Fungsi
Oleh: Yan Widjaya
Ada email dari sutradara muda Fajar Nugors, Jogjakarta, mengabarkan, bahwa bioskop Mataram telah ditutup sejak September 2007. Bagi yang pernah mukim di Jogja, pasti mengenal bioskop tradisionil terbesar di sana yang berkapasitas 650 kursi itu. Tokh akhirnya bioskop legendaris berusia puluhan tahun tersebut bangkrut karena konon tak mendapatkan jatah pasokan film baru lagi. Sedangkan di Ambarukmo Plaza telah berkibar Studio 21 dengan lima layar studionya.
Nasib mengenaskan Mataram juga dialami oleh lebih dari 2573 bioskop lain di seluruh Indonesia yang kini telah tewas atau gedungnya beralih fungsi menjadi ruko dan mal. Tak urung penulis terseret nostalgia pada bioskop kelas menengah ke bawah. Kerinduan pada suasana, romantisme sebuah public area di mana masyarakat bisa bertemu, duduk menonton bersama-sama, terhanyut dalam emosi massal, tertawa, menangis, gemes, gregetan, bareng-bareng.
Di bawah ini penulis kutipkan monolog panjang yang diucapkan penilik gedung bioskop tua di sebuah kota kecill di Amerika Serikat, Pak Harry Timble (diperani aktor veteran Martin Landau) pada juniornya, Peter (komedian top Jim Carrey) dalam film luar biasa mengesankan The Majestic.
"Dalam gedung bioskopnya yang lenggang, Harry Trimble wanti-wanti pada Peter, pemuda yang disangkanya anaknya, "Itulah mengapa kami menamainya The Majestic. Setiap orang, lelaki-wanita, anak-anak, boleh beli tiket, lalu berjalan masuk ke sini. Menikmati impian, menikmati sepotong nirwana. Mungkin kau punya masalah di luar sana, tapi di sini kau melupakannya. Kau tahu kenapa? Karena di sini ada Chaplin, Keaton, dan Lloyd, Garbo, Bagle, dan Lombard, Jimmy Stewart dan Jimmy Cagney, Fred dan Ginger. Mereka adalah dewa-dewa. Dan mereka hidup abadi di sini. Ini bagai puncak Olympus. Ingatkah kamu, aku pernah bertutur betapa bahagia kami berada di sini? Karena bisa menonton mereka. Memang, sekarang ada teve. Tapi maukah kau duduk di rumah dan terus menerus menonton kotak kecil itu? Apakah menyenangkan, karena kau tak perlu berdandan? bagaimana dibilang menghibur, bila kau hanya duduk sendiri di ruang tengah rumahmu? Mana yang lain? Mana para penonton? Dimana letak keajaibannya? Kukatakan padamu, dalam tempat seperti ini, keajaiban itu berada di sekelilingmu, tinggal kausaksikan saja."
Sungguh, sebuah pameran akting yang kuat sekali dari Landau!
Penyebab Kebangkrutan
Kembali pada senjakala bioskop-bioskop di Indonesia. Menurut catatan sejarah bioskop pertama dibuka untuk umum di Hindia Belanda pada tahun 1900 (hanya lima tahun setelah bioskop diperkenalkan di Prancis oleh Lumiere Bersaudara). Bioskop pertama itu berdiri di Jalan Kebon Jae, Tamah Abang, Jakarta Pusat.
Dengan cepat gedung hiburan baru ini menyebar ke Bandung, Surabaya, dan kota-kota lainnya. Pada saat kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan tahun 1945, di setiap kota besar sudah berdiri satu-dua gedung bioskop. Pada masa awal Orde Baru, 1967, tercatat 350 buah gedung bioskop. Jumlah ini berkembang pesat samapai ke angka tertinggi, 3045 bioskop (termasuk 310 bioskop di Jakarta) pada tahun 1991. Namun dari sini terus merosot sampai halnya tinggal 472 layar di tahun 2007.
Dari jumlah tersebut, 65 persen (327 layar) dikuasai oleh jaringan sinepleks 21 (terbagi menjadi 172 layar di DKI dan 155 layar di luar DKI). Sisanya, hanya 145 layar non-21 yang tersebar di 43 lokasi seluruh Indonesia (Jumlah layar bioskop 21 dan XXI dalam tahun 2013 mencaai 700 layar yang akan terus tumbuh kembang).
Jalur bioskop kelas atas di luar sinepleks 21 yang kini berkembang adalah Blitz Megaplex, setidaknya sudah berdiri di enam lokasi di Jakarta (Grand Indonesia, Pacific Place, Mall of Indonesia, Teraskota, Central Park, Bekasi Cyber Park) setelah cikal-bakalnya di Paris van Java, Bandung, menyusul suidah dibuka juga di Balikpapan dan Batam, Kepri. Selain itu adalah MPX di Pasaraya Sarinah, Blok M, Jakarta Selatan (sekarang sudah tutup), dan M2 di Mangga Dua, Jakarta Utara.
Bioskop tradisionil memang telah tersisihkan oleh sinepleks yang tumbuh di Key Cities (ibukota negara dan ibukota provinsi) serta Sub-key Cities (kotamadya atau ibukota Kabupaten). Sedangkan bioskop-bioskop di kwasan Up Countries (Kecamatan) sudah lama rontok.
Jangankan di kota kecil, di Jakarta sendiri telah tewas ratusan bioskop. Sekedar mengenang belaka. Dua dekade lalu di Princen Park (Taman hiburan Lokasari, Mangga Besar), masih ada bioskop-bioskop legendaris Roekiah, Mangga Besar, Merpati, Sri Intan, dan di sekitarnya ada New Orient dan Kartini. Di sekeliling Monas ada President, Monas Theater, Twins, New International, dan Eldorado Di kawasan Chinatown Glodok berderet Mandala, Plaza, Glodok Sky, Gloria, New Asia, serta Chandra I & II, Semuanya merupakan bioskop langganan penulis di masa remaja, tapi sekarang mereka telah punah.
Cinema Paradiso
Pernah nonton film Italia yang bagus banget, Cinema Paradiso (1989), karya Giuseppe Tornatore? Dulu, beruntung penulis mendapat undangan dari Pusat Kebudayaan Italia untuk menontonnya. kemudian, penulis pun kebetulan bisa membeli DVD-nya. Mengasyikkan sekali menontonnya berkali-kali.
Jadi harus ingat betapa banyak bioskop yang sudah tiada, tanpa epithap. Sebagai pencandu film sejati penulis pernah meninggalkan jejak, minimal sekali duduk menonton di situ. Sebagian besar sudah dilupakan zaman, ada yang mati alami, ada yang 'dibunuh', bahkan dibakar dalam kebiadaban terkutuk di Jakarta bulan Mei 1988.
Dulu bagi pengunjung Taman Ria Remaja, Monas, tiap malam tayang dua judul film gratis. Sedangkan di Drive Inn Ancol, layar berukuran raksasanya menayangkan beruntun empat judul film yang bisa ditonton dari dalam mobil bersama pacar tau keluarga ramai-ramai.
Iseng corat-coret jebul banyuak pisan yang tinggal nostalgia, inilah sebagian di antaranya, disusun seturut alphabet:
Program Kegiatan HIPMI NOBAR
BPP HIPMI
Seiring dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat Indonesia dengan Jumlah Penduduk 245 Juta Jiwa dengan income perkapita USD 3.850 per tahun atau sekitar 37 juta serta tumbuhnya Kelas menengah di Indonesia yang mencapai 60% dari populasi dipercaya akan mampu memberi kontribusi besar bagi pembangunan Indonesia ke depan, Motor pendorong konsumsi domestik dan sekaligus menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Jumlah penduduk Indonesia yang besar juga menyimpan segudang potensi kreatifitas sebagai bahan baku di Industri kreatif, Industri kreatif telah menjadi salah satu jenis industri yang menjadi primadona yang sangat menjanjikan yang menunggu untuk ditumbuh-kembangkan untuk memajukan kesejahteraan nasional, dan salah satunya adalah industri film.
Industri film nasional haruslah menjadi tuan rumah di negeri sendiri, kekayaan ragam budaya lokal, Keindahan alam Indonesia dari sabang sampai merauke merupakan potensi kearifan lokal yang luar biasa untuk bisa diangkat dan dikembangkan.. Dan hal tersebut bisa terwujud apabila apresiasi dan kecintaan masyarakat terus tumbuh kepada Industri film nasional.
Peningkatan Apresiasi dan Kecintaan Masyarakat pada film nasional dan peningkatan kualitas film karya anak negeri, secara simultan akan memperkuat ekonomi domestic dan diyakini mampu untuk bersaing dengan film impor, hal tersebut akan menciptakan kondisi yang bisa merangsang terus tampil film-film anak negeri yang berkualitas dengan adanya keyakinan konsumsi dari masyarakat Indonesia, dan Industri Film bisa menjadi Motor pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan bangsa Indonesia.
Dalam pemahaman pentingnya membangun Kecintaan masyarakat Indonesia kepada film karya anak negeri BPP HIPMI menginisiasi untuk melaksanakan program HIPMI Nobar, Hipmi Nobar merupakan program BPP Hipmi Bidang Pariwisata dan Industri Kreatif yang diketuai oleh Erik Hidayat dimana program ini bertujuan untuk mengapresiasi film karya anak negeri dan mensosialisasikan serta mengkampanyekan kepada masyarakat baik keluarga besar HIPMI maupun masyarakat luas agar dapat mencintai dan mendukung Industri film nasional yang baik dan berkualitas untuk bisa tumbuh, maju dan berkembang.
Sejak Desember 2011 hingga saat ini Program BPP Hipmi Nobar telah dilaksanakan sebanyak 12 kali nonton bareng film nasional diantaranya Arisan 2, Modus Anomali, Rumah Seribu Ombak, Rayya Cahaya diatas Cahaya, Cita-citaku Setinggi Tanah, Jakarta Hati, Habibie & Ainun, 5 Cm, Sang Pialang, Rectoverso (Nobar di 10 Kota Indonesia, Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Medan, Banjarmasin, Denpasar, Surabaya, Makassar, Palembang, Balikpapan), 9 Summers 10 Autumns, Wanita Tetap Wanita (Nobar di Jakrta dan Depok) yang menghadirkan sekitar 3300 Penonton baik dari keluarga besar HIPMI maupun Masyarakat Luas, dimana dalam pelaksanaannya BPP HIPMI bekerjasama dengan BPD (Badan Pengurus Daerah) HIPMI diseluruh Indonesia dan Masyarakt serta Media untuk mensosialisasikan Apresisai Terhadap Film Indonesia.
NOBAR HIPMI
Film karya anak negeri harus bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri ragam budaya lokal, keindahan alam merupakan potensi kearifan lokal yang luar biasa untuk bisa diangkat dan dikembangkan. Industri film nasional menyimpan potensi ekonomi kreatif yang sangat besar dan menunggu untuk digiatkan menjadi satu pilar ekonomi yang kuat.
NOBAR HIPMI merupakan rangkaian program BPP HIPMI bidang Pariwisata dan Industri Kreatif yang bertujuan untuk mengapresiasi film karya anak negeri dan mensosialisasikan kepada masyarakat baik keluarga besar HIPMI meupun masyarakat luas agar dapat mencintai dan mendukung Industri film nasional untuk bisa tumbuh, maju dan berkembang.
NOBAR HIPMI adalah Kampanye dan sosialisasi kelompok pengusaha muda kepada masyarakat untuk bisa mengapresiasi, mencintai dan mendukung film hasil kreatifitas insan film nasional agar diharapkan akan menumbuhkan semangat dan dukungan terhadap industri film nasional, sehingga Industri Film Nasional Bisa menggeliat bangkit dan menjadi basis Industri yang dapat memberikan kontribusi kesejahteraan bagi perekonomian nasional.
Romantisme Bioskop Tua
Sejarah Bioskop Pertama Jakarta
PDS HB Jassin Jakarta, September 2013 - Bioskop pertama di Batavia diusahakan oleh seorang Belanda bernama Talbot "Gedung"nya sebuah bangsal berdinding gedek dan beratap kaleng di Lapangan Gambir. Setelah pertunjukan di Lapangan Gambir selesai, bioskop itu pun lalu dibawa keliling ke kota-kota lain.
Kemudian seorang Belanda yang lain bernama Schwarz mengikutinya. Mula-mula bioskop yang diusahakannya itu main di tempat orang belajar menunggang kuda, lalu di Kebon Jahe, dekat Tanah Abang. Terakhir bioskop Schwarz in menempati gedung di Pasar Baru. Sayang tak lama kemudian gedung permanen itu habis terbakar. Seorang Belanda lagi bernama de Callone mengusahakan bioskop Deca Park. Mula-mula berupa bioskop terbuka di lapangan yang dijaman sekarang disebut "misbar", gerimis bubar. Tetapi kemudian de Callone menggunakan sebuah gedung yang dinamakannya "Capitol" di Pintu Air.
Seorang pengusaha Cina setelah itu mendirikan pula bioskop di Pitnu Air. Nama bioskop itu ialah "Elite". Beberapa tahun kemudian bioskop itu dijual kepada Universal Film Co. Pada jaman itu penonton sangat menyukai film-film seperti Fantomas, Zigomar, Tom Mix, Edi Polo dan film lucu yang dibintangi oleh Charlie Chaplin, Max Linder, Arsen Lupin dan lain-lain. Film-film itu semua adalah film bisu yang diramaikan oleh orkes.
Sampai saat penyerahan Belanda kepada jepang pada tahun 1942, bioskop yang ada di Jakarta adalah sebagai berikut : "Rex" di Kramat Bunder, "Cinema" di Krekot, "Astoria" di Pintu Air, "Centraal" di Jatinegara, dua bioskop "Rialto", masing-masing di Senen dan Tanah Abang. Kemudian bioskop "Thalia" di Jalan Hayam Wuruk, "Olimo" yang sekarang tidak ada lagi, "Orion" di Glodok dan "Al Hambra" di Sawah Besar.
Bioskop Capitol di Pintu Air khusus di peruntukkan bagi orang Belanda saja. Sebagai perkecualian ialah para bupati dan anggota "Volksraad" bangsa Indonesia. Tarif "Capitol" cukup mahal pada jaman itu. Satu setengah gulden, tanpa kelas, sekarang bioskop ini sudah tidak ada lagi. Bioskop "Oost Java" terletak di pojok Merdeka Utara - Jalan Veteran III, sekarang sudah tidak ada lagi. Di Gedung inilah dulu berlangsung rapat umum yang diselenggarakan oleh Kongres Pemuda II. Dalam rapat umum ini W.R. Supratman dengan biolanya memperkenalkan lagu "Indonesia Raya" untuk pertama kalinya. Begitu juga bioskop "Rembrandt" di Pintu Air sekarang hanya tinggal kenangan saja bagi orang-orang tua yang pernah tinggal di Batavia.
Data-Data Teater / Bioskop Tanah Air:
DKI Jakarta
- Bioskop GRAND Senen Didirikan Sejak tahun 1920 (Siap Berubah Menjadi Sevel) pemilik PT. Keramat (Rudi Karnadi). Grand 1 dan Grand 2 di lantai satu.
- Bioskop Teater Mulia Agung (Layarnya 3) dikelola oleh PT.. Mulia Agung (Husein)
- Bioskop Tugu Jl. Raya Tugu Tanjung Priok
- Bioskop Cahaya Baru - Kebayoran Lama
- Bioskop Prima-Slipi (Tutup)
- Bioskop Megaria - (Metropole XXI)
- Bioskop Viva - Tebet, Jakarta Selatan.
- Bioskop Wira - Tebet, Jakarta Selatan.
- Bioskop RIVOLI Bollywood - Kramat Jakarta Pusat
- Bioskop Djaja Di Jatinegara
- Bioskop Orion Glodok
- Cempaka Theater (Tutup 2009)
- Bioskop Benhill Jakarta Pusat (Tutup April 2010)
- Bioskop NUSANTARA Kebon Pala Kampung Melayu Jakarta Timur (2006)
- Al Hambra Teater (Sawah Besar)
- Cinema - KrekoT
- Bioskop Astoria - Pintu Air
- Bioskop Rialto Senen & Tanah Abang
- Bioskop Thalia - Hayam Wuruk
- Bioskop Olimo
- Bioskop Capitol - Pintu Air (Bioskop Orang Belanda)
- Bioskop Rembrandt - Pintu Air
- Bioskop Oost Java (Pojokan Merdeka Utara Jalan Veteran III) Pernah Jadi Tempat Kongres Pemuda II, disinilah untuk pertama kali WR. Supratman memperdengarkan Lagu INDONESIA RAYA. Menurut Data Dinas Pariwisata & Kebudayaan DKI Jakarta, mereka dikepung oleh jaringan bioskop 21 yang tersebar di 42 lokasi dan sampai 50 hingga akhir tahun 2013 dan Blitz Megaplex di empat lokasi. *Berdasarkan DPD Gabungan Pengusaha Bioskop DKI Jakarta, Tien Ali
- Bioskop Apollo
- Bioskop Jaya
- Bioskop Dewi
- Bioskop Artist
- Bioskop Makassar Theater (Terbakar Juni 2011)
- Bioskop Arini Jalan Rusa
- Bioskop Paramount
- Bioskop Mitra Jl. Kajoalido
- Bioskop Kemang Melati Rappoocini Raya
- Bioskop Istana Jl. Sultan Hasanuddin
- Bioskop Mall Theater di Jl. Mall Theater
- Bioskop Madya Kojaolalido (Sekarang Ged. Bank BII)
- Bioskop Benteng
- Bioskop Mutiara
- Bioskop Rewa
- Bioskop Permata (Garin Nugroho) Tutup tahun 2010
- Bioskop Mataram
- Bioskop Al-Hambra-Indonesia Raya (Indra) Tahun 1916 (kelas Sosial Tinggi, Eropa, Pengusaha Tionghoa, Bangsawan Kraton)
- Bioskop Mascot
- Bioskop Dieng - Wonosobo.
- Bioskop Helios di Braga
- Bioskop Panti Karya
- Bioskop Palaguna yang ada di Alun-Alun Bandung
- Dian Theater daerah Bojong Gede.
- Bioskop Majestic/Concordia (Venue Film Loetoeng Kasaroeng) 1920 sudah jadi Kelab Hiburan Malam Goyang Dangdut. Bioskop yang dikenal juga dengan istilah kaleng biskuit ini juga merupakan karya arsitektur asal Belanda, Prof Ir. Wolff Schoemaker, yang tidak lain adalah guru dari Presiden Ir. Soekarno.
- Bioskop Regent yang ada di Jalan Sumatera (Tutup Juli 2011).
- Bioskop Astor di daerah Ujung Berung
- Bioskop Vanda (Gedung BI Bandung)
- Bioskop Apollo (Belakang Kantor Pos Alun-Alun)
- Bioskop Elita
- Bioskop Dian
- Bioskop Galaxy
- Bioskop Nusantara
- Bioskop Regol
- Bioskop Radiocity
- Bioskop Roxy yang ada dikawasan Luxor Permai
- Bioskop Jaman Belanda yaitu D Drown & Bioskop yang adad di Alun-Alun Bandung (Helant & Michael tahun 1910)
- Bioskop Mitra
- Bioskop President
- International Theater
- Bioskop Surabaya
- Star Cinema
- Bioskop Wijaya
- Bioskop King
- Bioskop Indra
- Bioskop Ria
- Bioskop Capitol jalan Kranggan Surabaya (1950)
- Bioskop City
- Theater Intan bersama dengan Ultra, Aurora, Arjuna, Gita, Jaya dan Drive In.
Golongan B, delapan bioskop, yaitu: Kusuma, Purnama, Dana, Bayu, Gedung Utama, Satriya, Chandra dan Surya Baru.
Golongan C ada enam, yaitu: Darmo, Suzanna, Bahari Jaya, Kalisosok, Seno dan megah Ria.
Golongan D ada 15 bioskop, yaitu: Cantik, Moelyo, Andhika, Stadion Gelora, Kantin KKO, Rejo Slamet, Putra, Juwita, Sari Mulyo, Paulus, Baruna, Srikandi, Taman Remaja, Tandes dan Widodo.
Hampir 50 Bioskop tua yang ada beberapa yang masih eksis
Ada yang anda mah ingat...!
Sandyakalaning Bioskop Tradisional
2573 Gedung Beralih Fungsi
Oleh: Yan Widjaya
Ada email dari sutradara muda Fajar Nugors, Jogjakarta, mengabarkan, bahwa bioskop Mataram telah ditutup sejak September 2007. Bagi yang pernah mukim di Jogja, pasti mengenal bioskop tradisionil terbesar di sana yang berkapasitas 650 kursi itu. Tokh akhirnya bioskop legendaris berusia puluhan tahun tersebut bangkrut karena konon tak mendapatkan jatah pasokan film baru lagi. Sedangkan di Ambarukmo Plaza telah berkibar Studio 21 dengan lima layar studionya.
Nasib mengenaskan Mataram juga dialami oleh lebih dari 2573 bioskop lain di seluruh Indonesia yang kini telah tewas atau gedungnya beralih fungsi menjadi ruko dan mal. Tak urung penulis terseret nostalgia pada bioskop kelas menengah ke bawah. Kerinduan pada suasana, romantisme sebuah public area di mana masyarakat bisa bertemu, duduk menonton bersama-sama, terhanyut dalam emosi massal, tertawa, menangis, gemes, gregetan, bareng-bareng.
Di bawah ini penulis kutipkan monolog panjang yang diucapkan penilik gedung bioskop tua di sebuah kota kecill di Amerika Serikat, Pak Harry Timble (diperani aktor veteran Martin Landau) pada juniornya, Peter (komedian top Jim Carrey) dalam film luar biasa mengesankan The Majestic.
"Dalam gedung bioskopnya yang lenggang, Harry Trimble wanti-wanti pada Peter, pemuda yang disangkanya anaknya, "Itulah mengapa kami menamainya The Majestic. Setiap orang, lelaki-wanita, anak-anak, boleh beli tiket, lalu berjalan masuk ke sini. Menikmati impian, menikmati sepotong nirwana. Mungkin kau punya masalah di luar sana, tapi di sini kau melupakannya. Kau tahu kenapa? Karena di sini ada Chaplin, Keaton, dan Lloyd, Garbo, Bagle, dan Lombard, Jimmy Stewart dan Jimmy Cagney, Fred dan Ginger. Mereka adalah dewa-dewa. Dan mereka hidup abadi di sini. Ini bagai puncak Olympus. Ingatkah kamu, aku pernah bertutur betapa bahagia kami berada di sini? Karena bisa menonton mereka. Memang, sekarang ada teve. Tapi maukah kau duduk di rumah dan terus menerus menonton kotak kecil itu? Apakah menyenangkan, karena kau tak perlu berdandan? bagaimana dibilang menghibur, bila kau hanya duduk sendiri di ruang tengah rumahmu? Mana yang lain? Mana para penonton? Dimana letak keajaibannya? Kukatakan padamu, dalam tempat seperti ini, keajaiban itu berada di sekelilingmu, tinggal kausaksikan saja."
Sungguh, sebuah pameran akting yang kuat sekali dari Landau!
Penyebab Kebangkrutan
Kembali pada senjakala bioskop-bioskop di Indonesia. Menurut catatan sejarah bioskop pertama dibuka untuk umum di Hindia Belanda pada tahun 1900 (hanya lima tahun setelah bioskop diperkenalkan di Prancis oleh Lumiere Bersaudara). Bioskop pertama itu berdiri di Jalan Kebon Jae, Tamah Abang, Jakarta Pusat.
Dengan cepat gedung hiburan baru ini menyebar ke Bandung, Surabaya, dan kota-kota lainnya. Pada saat kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan tahun 1945, di setiap kota besar sudah berdiri satu-dua gedung bioskop. Pada masa awal Orde Baru, 1967, tercatat 350 buah gedung bioskop. Jumlah ini berkembang pesat samapai ke angka tertinggi, 3045 bioskop (termasuk 310 bioskop di Jakarta) pada tahun 1991. Namun dari sini terus merosot sampai halnya tinggal 472 layar di tahun 2007.
Dari jumlah tersebut, 65 persen (327 layar) dikuasai oleh jaringan sinepleks 21 (terbagi menjadi 172 layar di DKI dan 155 layar di luar DKI). Sisanya, hanya 145 layar non-21 yang tersebar di 43 lokasi seluruh Indonesia (Jumlah layar bioskop 21 dan XXI dalam tahun 2013 mencaai 700 layar yang akan terus tumbuh kembang).
Jalur bioskop kelas atas di luar sinepleks 21 yang kini berkembang adalah Blitz Megaplex, setidaknya sudah berdiri di enam lokasi di Jakarta (Grand Indonesia, Pacific Place, Mall of Indonesia, Teraskota, Central Park, Bekasi Cyber Park) setelah cikal-bakalnya di Paris van Java, Bandung, menyusul suidah dibuka juga di Balikpapan dan Batam, Kepri. Selain itu adalah MPX di Pasaraya Sarinah, Blok M, Jakarta Selatan (sekarang sudah tutup), dan M2 di Mangga Dua, Jakarta Utara.
Bioskop tradisionil memang telah tersisihkan oleh sinepleks yang tumbuh di Key Cities (ibukota negara dan ibukota provinsi) serta Sub-key Cities (kotamadya atau ibukota Kabupaten). Sedangkan bioskop-bioskop di kwasan Up Countries (Kecamatan) sudah lama rontok.
Jangankan di kota kecil, di Jakarta sendiri telah tewas ratusan bioskop. Sekedar mengenang belaka. Dua dekade lalu di Princen Park (Taman hiburan Lokasari, Mangga Besar), masih ada bioskop-bioskop legendaris Roekiah, Mangga Besar, Merpati, Sri Intan, dan di sekitarnya ada New Orient dan Kartini. Di sekeliling Monas ada President, Monas Theater, Twins, New International, dan Eldorado Di kawasan Chinatown Glodok berderet Mandala, Plaza, Glodok Sky, Gloria, New Asia, serta Chandra I & II, Semuanya merupakan bioskop langganan penulis di masa remaja, tapi sekarang mereka telah punah.
Cinema Paradiso
Pernah nonton film Italia yang bagus banget, Cinema Paradiso (1989), karya Giuseppe Tornatore? Dulu, beruntung penulis mendapat undangan dari Pusat Kebudayaan Italia untuk menontonnya. kemudian, penulis pun kebetulan bisa membeli DVD-nya. Mengasyikkan sekali menontonnya berkali-kali.
Jadi harus ingat betapa banyak bioskop yang sudah tiada, tanpa epithap. Sebagai pencandu film sejati penulis pernah meninggalkan jejak, minimal sekali duduk menonton di situ. Sebagian besar sudah dilupakan zaman, ada yang mati alami, ada yang 'dibunuh', bahkan dibakar dalam kebiadaban terkutuk di Jakarta bulan Mei 1988.
Dulu bagi pengunjung Taman Ria Remaja, Monas, tiap malam tayang dua judul film gratis. Sedangkan di Drive Inn Ancol, layar berukuran raksasanya menayangkan beruntun empat judul film yang bisa ditonton dari dalam mobil bersama pacar tau keluarga ramai-ramai.
Iseng corat-coret jebul banyuak pisan yang tinggal nostalgia, inilah sebagian di antaranya, disusun seturut alphabet:
- Adi
- Aladin
- Alhambra
- Ambassador
- Amigo
- Ancol Driv Inn
- Angke
- Apollo
- Astor
- Astoria
- Atlanta
- Bakti
- Bali Room
- Berdikari
- Borobudur
- Broadway
- Capitol
- Cathay
- Cengkareng
- Chandra
- Citos
- City
- Columbia
- Dewi
- Duta
- El Dorado
- Fajar
- Gala
- Galaxy
- Garuda
- Glodok Sky
- Gloria
- Golden
- Inter
- Jatinegara
- Jaya
- Jayakarta
- jembatan Lima
- Kartika Chandra
- Kartini
- Kebayoran Baru
- Kramat Jati
- Kramat Jaya
- Krekot
- Liberty
- Lokaria
- Majestic
- Mandala
- Mangga Besar
- Menteng
- Merpati
- Mitra
- Monas
- MPX
- Nasional
- New Asia
- New city
- New Garden Hall
- New Jaya
- New Orient
- Nusantara
- Odeon
- Orion
- Palapa
- Pal Merah
- Pancoran
- Pandawa
- Plaza
- President
- Prinsen Park
- Ramayana
- Rawamangun
- Rialto
- Rivoly
- Roekiah
- Roi
- Roxy
- Roxy Mas
- Sawah Besar
- Satria
- Senen
- Seronie
- Sri Intan
- Star
- Studio 21
- Tanah Abang
- Tebet
- Tobar Jaya
- Topaz
- Twin
Mungkin Anda juga pernah punya kenangan manis di bioskop-bioskop tersebut di suatu masa dulu, duluuu sekaliiii...!
Program Kegiatan HIPMI NOBAR
BPP HIPMI
Seiring dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat Indonesia dengan Jumlah Penduduk 245 Juta Jiwa dengan income perkapita USD 3.850 per tahun atau sekitar 37 juta serta tumbuhnya Kelas menengah di Indonesia yang mencapai 60% dari populasi dipercaya akan mampu memberi kontribusi besar bagi pembangunan Indonesia ke depan, Motor pendorong konsumsi domestik dan sekaligus menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Jumlah penduduk Indonesia yang besar juga menyimpan segudang potensi kreatifitas sebagai bahan baku di Industri kreatif, Industri kreatif telah menjadi salah satu jenis industri yang menjadi primadona yang sangat menjanjikan yang menunggu untuk ditumbuh-kembangkan untuk memajukan kesejahteraan nasional, dan salah satunya adalah industri film.
Industri film nasional haruslah menjadi tuan rumah di negeri sendiri, kekayaan ragam budaya lokal, Keindahan alam Indonesia dari sabang sampai merauke merupakan potensi kearifan lokal yang luar biasa untuk bisa diangkat dan dikembangkan.. Dan hal tersebut bisa terwujud apabila apresiasi dan kecintaan masyarakat terus tumbuh kepada Industri film nasional.
Peningkatan Apresiasi dan Kecintaan Masyarakat pada film nasional dan peningkatan kualitas film karya anak negeri, secara simultan akan memperkuat ekonomi domestic dan diyakini mampu untuk bersaing dengan film impor, hal tersebut akan menciptakan kondisi yang bisa merangsang terus tampil film-film anak negeri yang berkualitas dengan adanya keyakinan konsumsi dari masyarakat Indonesia, dan Industri Film bisa menjadi Motor pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan bangsa Indonesia.
Dalam pemahaman pentingnya membangun Kecintaan masyarakat Indonesia kepada film karya anak negeri BPP HIPMI menginisiasi untuk melaksanakan program HIPMI Nobar, Hipmi Nobar merupakan program BPP Hipmi Bidang Pariwisata dan Industri Kreatif yang diketuai oleh Erik Hidayat dimana program ini bertujuan untuk mengapresiasi film karya anak negeri dan mensosialisasikan serta mengkampanyekan kepada masyarakat baik keluarga besar HIPMI maupun masyarakat luas agar dapat mencintai dan mendukung Industri film nasional yang baik dan berkualitas untuk bisa tumbuh, maju dan berkembang.
Sejak Desember 2011 hingga saat ini Program BPP Hipmi Nobar telah dilaksanakan sebanyak 12 kali nonton bareng film nasional diantaranya Arisan 2, Modus Anomali, Rumah Seribu Ombak, Rayya Cahaya diatas Cahaya, Cita-citaku Setinggi Tanah, Jakarta Hati, Habibie & Ainun, 5 Cm, Sang Pialang, Rectoverso (Nobar di 10 Kota Indonesia, Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Medan, Banjarmasin, Denpasar, Surabaya, Makassar, Palembang, Balikpapan), 9 Summers 10 Autumns, Wanita Tetap Wanita (Nobar di Jakrta dan Depok) yang menghadirkan sekitar 3300 Penonton baik dari keluarga besar HIPMI maupun Masyarakat Luas, dimana dalam pelaksanaannya BPP HIPMI bekerjasama dengan BPD (Badan Pengurus Daerah) HIPMI diseluruh Indonesia dan Masyarakt serta Media untuk mensosialisasikan Apresisai Terhadap Film Indonesia.
NOBAR HIPMI
Film karya anak negeri harus bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri ragam budaya lokal, keindahan alam merupakan potensi kearifan lokal yang luar biasa untuk bisa diangkat dan dikembangkan. Industri film nasional menyimpan potensi ekonomi kreatif yang sangat besar dan menunggu untuk digiatkan menjadi satu pilar ekonomi yang kuat.
NOBAR HIPMI merupakan rangkaian program BPP HIPMI bidang Pariwisata dan Industri Kreatif yang bertujuan untuk mengapresiasi film karya anak negeri dan mensosialisasikan kepada masyarakat baik keluarga besar HIPMI meupun masyarakat luas agar dapat mencintai dan mendukung Industri film nasional untuk bisa tumbuh, maju dan berkembang.
NOBAR HIPMI adalah Kampanye dan sosialisasi kelompok pengusaha muda kepada masyarakat untuk bisa mengapresiasi, mencintai dan mendukung film hasil kreatifitas insan film nasional agar diharapkan akan menumbuhkan semangat dan dukungan terhadap industri film nasional, sehingga Industri Film Nasional Bisa menggeliat bangkit dan menjadi basis Industri yang dapat memberikan kontribusi kesejahteraan bagi perekonomian nasional.
Label: bioskop tuah, info, insosinema, sejarah bioskop
1 Komentar:
Bioskop Tua Makassar (Ujung Pandang)
Koreksi ya...
Bioskop Artist, seharusnya "ARTIS"
Bioskop Makassar Theater (Terbakar Juni 2011) seharusnya "Bali"
Bioskop Arini Jalan Rusa, seharusnya "Rusa"
Bioskop Mitra Jl. Kajoalido, seharusnya "Madya"
dan tambahan Bioskop Ratu & Bioskop Jumpandang (area sekitar jalan Bali & jl. Nusantara)..
Trims, semoga bioskop makin ramai seperti jaman dulu lagi.
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda